BAB I
PENDAHULUAN
Perbedaan pendapat pada manusia adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Jika
manusia sejak kecilnya memandang alam sekitarnya dengan pandangan
filosofis – sementara pandangan orang berbeda-beda, maka kelanjutan
ialah bahwa gambaran dan imajinasi manusia juga berbeda-beda. Demikian
juga halnya yang terjadi dalam kenyataan kehidupan kaum muslimin, di
mana sejarah mencatat bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW.
Setelah terbagi kepada beberapa aliran dalam bidang Teologi yang
semulanya hanya dilator belakangi oleh persoalan politik, seperti :
Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Masing-masing aliran berbeda pendapat dalam mengemukakan konsep mereka
dalam bidang teologi, di samping disebabkan karena memang munculnya
perbedaan itu terkait langsung dengan perbedaan kecenderungan, tingkat
pengetahuan dan pengalaman, juga disebabkan karena di antara dasar-dasar
agama, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi memberikan
peluang untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan peluang
untuk munculnya perbedaan persepsi dalam memberikan interpretasi,
khususnya dalam lapangan teologi seperti masalah sifat-sifat tuhan,
perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan, keadilan, kehendak muthlak Tuhan,
akal dan wahyu.
Dalam makalah ini penulis akan mengetengahkan tentang kebebasan manusia dan kekuasaan mutlak Tuhan dengan memperbandingkan pendapat berbagai aliran dalam Islam yang pernah muncul dalam sejarah.
BAB II
PEMBAHASAN
Allah
sebagai Pencipta alam semesta dan Penguasa hari pembalasan, mengatasi
segala apa yang ada. Ia adalah wujud yang mempunyai kehendak dan
kekuasaan yang tidak terbatas di samping memiliki keadilan.
Mausia
sebagai makhluk ciptan Allah mendapat kemuliaan untuk menjadi
khalifahnya di muka bumi ini, pemikul amanah yang akan dimintai
pertanggung jawaban di hadapan mahkamah agung. Allah memberikan akal
untuk memahami wahyu yang diturunkan-Nya melalui rasul-rasul-Nya, di
samping hak kebebasan dan hak memiliki sesuai dengan taklif yangmenjadi
tanggung jawabnya.
Namun
dalam sejarah perkembangan ilmu kalam, terdapat perbedaan-perbedaan
konsep tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, dikaitkan dengan
keadilan Tuhan. Hal ini didasari oleh perbedaan pemahaman terhadap
kekuatan akal, fungsi wahyu, kebebasan serta kekuasaan manusia di
hadapan Tuhan yang Maha Berkehendak dan Maha Kuasa.
A. Kehendak Mutlak Tuhan
Mu’tazilah
sebagai aliran kaum rasional, di samping memberikan daya yang besar
kepada akal, juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk melaksanakan
kehendak dan perbuatannya. Karenanya menurut paham Mu’tazilah kehendak
dan kekuasaan mutlak Tuhan tidak bersifat mutlak lagi, tetapi sudah
terbatas.
Keterbatasan
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu terjadi oleh adanya pembatasan
yang diciptakannya sendiri, yaitu dengan menciptakan kebebasan
berkemauan dan berbuat bagi manusia, hukum alam, sunah Allah,
norma-norma keadilan dan kewajiban Tuhan itu sendiri terhadap manusia.
Paham
tentang kebebasan berkemauan dan berbuat bagi manusia dalam pandangan
Mu’tazilah bertitik tolak dari pandangan bahwa perbuatan manusia tidak
lah dicptakan oleh Tuhan, tapi manusia sendiri yang menciptakannya.
Dengan kebebasan berkemauan dan
berbuat berarti manusia merdeka dalam menentukan nasibnya sendiri.
Kebebasan ini akan membawa kepada tanggung jawab pribadi. Segala
perbuatan baik maksiat yang mendatangkan dosa, maupun ketaatan yang
mendatangkan pahala adalah tanggungjawab yang harus dipikul oleh
seseorang sesuai denga firman Allah:[1]
Artinya: Barangsiapa
yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri
dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk
dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya
hamba-hambaNya. (Fushshilat:46)
Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya
(Al-Mudatstsir:38)
Artinya:
Sebagai sunnah Allah yang Berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada
sunnah Allah. (Al-Ahzab:62)
Ayat
di atas secara gamblang menyatakan bahwa tidak ada dijumpai perubahan
dalam hukum alam tersebut. Hukum alam tersebut tidak mengalami perubahan
atas kehendak Tuhan sendiri dan dengan demikian, merupakan batasan bagi
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Di
sini jelas kelihatan, bahwa kaum Mu’tazilah sangat menekankan adanya
hukum alam yang diciptakan Tuhan. Adanya sunnatullah di alam ini
membatasi kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, sebab Tuhan tidak akan
berbuat dan tidak menghendaki untuk berbuat di luar dari ketetapan yang
telah diciptakannya sendiri.
Selanjutnya
menurut Mu’tazilah, yang membatasi kehendak dan kekuaaan mutlak Tuhan
ialah diciptakannya norma-norma keadilan yang menimbulakan adanya
kewajiban-kewajiban terhadap manusia berupa berbuat baik dan terbaik
bagi manusia (ash-shalaahu wa al-ashlah) dengan
memelihara kepentingan hamba-hamba-Nya seperti pengiriman
Rasul-rasul-Nya guna memberi petunjuk kepada jalan yang benar.
Firman Allah:
Artinya: Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
(Al-Isra: 15)
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Arab-Ra’ad: 31)
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan sebenarnya tidak mutlak lagi, karena dengan menghadapi zat yang
bersifat terbatas maka kehendak dan kekuasaan Tuhan pun menjadi
terbatas, dan keterbatasan ini dibatasi oleh Tuhan sendiri.
Dalam
memahami kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan golongan Asy’ariyah
berbeda pendapat dengan golongan Mu’tazilah. Menurut Asy’ari Tuhan
mempunyai kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu, apakah kebaikan
atau kejahatan menurut kehendak Tuhan. Tidak seorang pun yang sanggup
berbuat sesuatu, kalau tidak dengan kehendak Allah. Kita lemah dan tidak
sanggup keluar dari ilmu Allah. Allah adala satu-satunya pencipta.
Perbuatan manusia pun adalah ciptaannya. Sesuai dengan firman Allah:
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".(as-shaffat:96)
Dari
keterangan di atas, jelas bahwa Asy’ari menghubungkan antara ilmu Tuhan
dengan kehendak-Nya untuk menolak pendapat yang menyatakan bahwa
kehendak-Nya menyalahi apa yang diketahui dan sekaligus menetapkan bahwa
Tuhan sesungguhnya menghendaki terjadinya apa yang diketahui, sebagai
mana yang telah Dia ketahui.
Al-Ghazali,
seorang tokoh aliran Asy’ariyah mengemukakan bahwa Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu. Kekuasaan dan kehendak-Nya adalah mutlak. Oleh
sebab itu, tak ada satu pun yang merupakan kewajiban bagi-Nya.
Penciptaan alam dan pembebanan atas-Nya dengan tugas-tugas adala sesuatu yang jaiz (boleh
saja bagi Allah), bukan merupakan kewajiban. Dia tidak wajib memberi
pahala kepada orang yang taat, atau mengenakan sanksi kepada orang yang
durhaka. Dengan demikian, pahala dan dosa bukanlah hak yang mesti
diterima atau resiko yang mesti ditanggung oleh seorang manusia. Pahala
adalah karunia Allah, dan siksaan merupakan keadilan-Nya.
Al-Asfaraini dalam Tabshirnya
menegaskan bahwa sebagaimana ilmu Allah meliputi yang maklum.
Kehendak-Nya meliputi apa-apa yang terjadi, maka demikian pula kehendak
dan kekuasaan-Nya meliputi segala apa yang telah ditetapkan-Nya, sama
ada baik atau jahat.
Dari
keterangan di atas jelas lah bahwa, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan
mengatasi segala sesuatu. Segala perbuatan apa saja yang terjadi di
alam ini, baik di langit maupun di bumi, di alam malaikat ataupun
manusia, binatang dan alam lainnya, hanya dengan kehendak dan kekuasaan
Allah. Dia lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu dan segala sesuatu
sebenarnya tidak memiliki kekuasaan apa pun juga.
Argumentasi
rasional yang dikemukakan oleh Asy’ariyah bahwa kita menemukan
kekufuran itu jahat, rusak dan batil, dan iman itu baik, sukar dan
susah. Bagaimana orang kafir berupaya untuk menjadikan kekufuran
tersebut menjadi baik, pasti tidak bisa. Begitu juga orang mukmin tidak
bisa merubah keimanan itu menjadi sukar dan tidak melelahkan.
Ringkasnya
andaikata manusia yang melakukan dan menghendaki melakukan perbuatan
sebenarnya, niscaya perbuatan itu muncul sesuai dengan keinginan dan
maksudnya. Dan nyatanya tidak demikian, maka pasti ada pelaku yang
sesungguhnya itu Allah.
Adapu ayat-ayat al-Qur’an yang dikadikan alasan asy’ariyah antara lain:
Firman Allah:
Artinya:
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki
Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al-Insan:30)
Artinya: Dan
jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku
akan mengerjakan ini besok pagi (23) Kecuali (dengan menyebut): "Insya
Allah". dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah:
"Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat
kebenarannya dari pada ini".
(Al-Kahfi: 23-24)
Artinya: Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.(Huud: 107)
Dengan
adanya kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan itu, maka kehendak dan
tindakan manusia jadi terbatas. Dengan kata lain manusia tidak memilki
kebebasan berkehendak dan berbuat.
Golongan
Maturidiyah dalam memahami kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan,
terpecah menjadi dua kelompok yaitu Maturidiyah Samarkand dan Bukhara.
Maturidiyah Samarkand yang lebih banyak mempergunakan akal dalam pendapatnya lebih dekat dengan pemahaman Mu’tazilah.
Menurut
Maturidi kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh
kebebasan manusi yang diberikan oleh Tuhan sendiri dan keadaan Tuhan
yang menjatuhkan hukum sewenang-wenang tidak boleh terjadi.[2]
Untuk memperkuat pandangannya di atas, Maturidiyah Samarkand menggunakan dalil-dali naqli antara lain:
Artinya:
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa
yang telah kamu perselisihkan itu (Al-Maidah: 48)
Artinya: Katakanlah:
"Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; Maka jika Dia
menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya".
(Al-An’am:149)
Artinya: Dan
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?
(Yunus:99)
Ayat-ayat
di atas dipahami oleh Al-Maturidi bahwa Tuhan sebenarnya berkuasa
membuat manusia yang berada di bumi menjadi beriman, atau membuat
sementara manusia di dalam hidayah Allah. Namun Allah tidak melakukannya
disebabkan oleh kemerdekaan berkemauan dan berbuat yang memang ada di
dalam diri manusia.
Lebih
lanjut Maturidiyah Bukhara ini Masyi’ah dan ridha yang memandang bahwa
manusia melakukan perbuatan adalah atas kehendak Tuhan, namun tidak
semuanya menurut ridha-Nya. Manusia melakukan perbuatan baik adalah atas
kehendak Tuhan dan ridha-Nya, sebaliknya bila manusia melakukan
perbuatan jahat, maka hal itu juga merupakan kehendak Tuhan tetapi bukan
atas ridha-Nya.
Al-Bazdawi berpendapat bahwa taklifu maa laa yathiqu (memberi beban di luar kemampuan manusia) dapat
diterima dan tidak mustahil bagi Tuhan meletakkan atas diri manusia
kewajiban-kewajiban yang tidak dapat dipikulnya. Tuhan mempunyai
kekuasaan mutlak dalam membuat dan melakukan sesuatu dan tidak ada siapa
pun yang dapat menghalangi-Nya (kehendak Tuhan).
Dari keterangan di atas jelas bahwa Maturidiyah Bukhara hampir sepaham dengan Asy’ariyah.
Menurut Al-Bazdawi Tuhan menciptakan cosmos ini bukan karena ada tujuan tertentu, malah Tuhan berbuat sekehendak hati-Nya.
B. Kebebasan Manusia
Kebebasan
adalah perkataan menarik yang mempunyai getaran tersendiri,
mempesonakan pendengaran, menarik hati, mengilhami nyanyian dan tembang
membuka pintu cita-cita dan perdebatan panjang dalam sejarah pemikiran
kalam, memperhatikan tuntutan kaum teraniaya dan membela kaum tertindas,
dan masih banyal lagi harapan dan cita-cita lain yang ingin dicapai
dengan “kebebasan kehendak”.
Problematika
kebebasan kehendak yang berujung pada kebebasan berpikir benar-benar
mempunyai kedudukan khusus dalam sejarah pemikiran Islam, bahkan
dianggap sebagai problematika rasional paling tinggi yang pernah ada,
dalam sejarah Islam, menghambat kemajuan dan perkembangan kaum Muslimin.
Di sekitarnya bermunculan berbagai pertanyaan, yang karenanya banyak
menimbulkan perdebatan dan melahirkan banyak aliran pemikir yang
spesifik atas namanya. Dengan
berlalunya zaman, aliran-aliran ini masih tetap beraneka ragam dan
banyak jumlahnya. Dalam topik kehendak bebas ini mereka sampai pada
kesimpulan untuk memadukan antara rasio dan wahyu.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa pendapat aliran-aliran kalam tentang kebebasan manusia:
1. Qadariyah
Qadariah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan
sebagai aliran dalam ilmu kalam, Qadariah adalah nama yang dipakai
untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan
kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Aliran
Qadariah timbul setelah muncul polemik di kalangan umat Islam tentang
sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung kepada
kehendak dan kekuasaan dan Kemutlakan Tuhan dalam menentukan perbuatan
dan perjalanan hidup manusia ? Apakah
Tuhan yang menentukan dan menggerakkan seluruh perbuatan-perbuatan
manusia? Apakah Tuhan memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada
manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia sendiri yang menentukan
perbuatan-perbuatan dan arah hidupnya?
Dalam
menanggapi pertanyaan seperti ini, aliran Qadariah berpendapat bahwa
manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan
hidupnya. Dengan demikian nama Qadariah berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai qudrah. Ma’bad al-Juhani (w. 80 H/699 M), yang
juga tokoh utama aliran ini adalah orang pertama yang menyerukan
pendapat tentang kehendak bebas. Dalam ajarannya, beliau sangat
menekankan bahwa manusia bebas dalam gerak laku dan perbuatannya.
Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya itu.
Ini berarti bahwa manusialah yang menentukan arah perbuatan dan gerak
lakunya dalam hidup. Tanpa adanya campur tangan Tuhan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ghailan al-Dimasyqi (w. 105 H/722 M)[3]—tokoh
kedua dalam paham Qadariah—berpendapat bahwa manusia berkuasa untuk
melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri,
dan manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuata
jahat atas kemampuan dan dayanya sendiri. Penjelasan ini lebih lanjut
dijelaskan oleh Ali Mushthafa al-Ghurabi yang menyatakan :
“Sesungguhnya
Allah telah menciptakan manusia dan menciptakan baginya kekuatan agar
dapat melaksanakan apa yang dibebankan oleh Tuhan kepadanya, karena jika
Allah memberi beban kepada manusia, namun Ia (Tuhan) tidak memberikan
kekuatan kepada manusia, maka beban itu adalah sia-sia, sedangkan
kesia-siaan bagi Allah adalah suatu hal yang tidak boleh terjad”i.
Perlu menjadi perhatian, pemahaman tentang Qadariah ini jangan dikacaukan dengan pemahaman tentang sifat-sifat Qudrat yang dimiliki oleh Allah, karena sifat qudrat ini lebih ditujukan kepada upaya ma’rifat kepada Allah Swt. Qudrat
Tuhan adalah bersifat abadi, kekal, berada pada zat Allah, tunggal,
tidak terbilang dan tidak berakhir dalam hubungannya dengan zat.
Sedangkan paham Qadariah lebih ditujukan kepada qudrat yang dimiliki manusia. Qudrat ini bersifat sementara, dapat hilang, berproses, bertambah dan berkurang.
Ayat-ayat
al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapat
mereka diantaranya dalam Surah al-Ra’ad ayat 11:
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri
Surah al-kahfi ayat 29:
Artinya:
Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin
(kafir) Biarlah ia kafir".
2. Jabariah
Jabariah berasal dari kata jabara
yang berarti memaksa. Paham ini berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya.
Manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah
Inggris paham ini dikenal dengan nama fatalism atau predestination.
Dalam
sejarah teologi Islam, paham Jabariah dimunculkan pertama kali oleh
al-Ja’d Ibn Dirham, tetapi yang menyiarkan ajaran ini adalah al-Jahm bin
Safwan (w. 127 H/745 M). al-Jahm bin Safwan menggambarkan kehendak
bebas ini dengan berpendapat, sebagaimana dikutip oleh al-Syahrastani,
“Manusia tidak mampu melakukan sesuatu dan memang tidak bisa disebut mampu. Sebaliknya, di dalam segala aktivitasnya, ia terpaksa karena ia tidak mempunyai kemampuan, kehendak dan kebebasan. Pahala, siksa dan kewajiban merupakan keterpaksaan seperti semua perbuatan.”
“Manusia tidak mampu melakukan sesuatu dan memang tidak bisa disebut mampu. Sebaliknya, di dalam segala aktivitasnya, ia terpaksa karena ia tidak mempunyai kemampuan, kehendak dan kebebasan. Pahala, siksa dan kewajiban merupakan keterpaksaan seperti semua perbuatan.”
Bagi Jabariah segala perbuatan hanya terjadi dengan qudrat dan iradat-Nya. Manusia tidak mempunyai qudrat dan iradat, manusia hanya merupakan wadah bagi apa yang Allah kehendaki.
Adapun alasan yang mereka ajukan:
a. Sekiranya manusia menciptakan pekerjaan atau perbuatan dengan qudratnya, berdasarkan kepada iradatnya sendiri, tentulah perbuatan-perbuatannya itu bukan dengan kehendak dan qudrat Allah. Karena mustahil berpautan dua kehendak dengan satu perbuatan dan menjadikan qudrat
Allah terbatas. Dan Allah mempunyai sekutu dalam perbuatan-Nya. Hal ini
tidak sesuai dengan kebesaran Allah Swt, padahal kesempurnaan-Nya
adalah mutlak.
b. Seorang
manusia yang mempunyai daya pilih atau kehendak bebas apa yang disukai,
tentulah ilmunya meliputi segala perincian apa yang dibuatnya,
sedangkan Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui ( yang kamu
lahirkan dan rahasiakan ) dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?” (QS. Al-Mulk/67: 14)
Maka
kalau manusia menciptakan segala perbuatan dengan ikhtiarnya, tentulah
dia mengetahui perincian dari perbuatan-perbuatannya itu, misalnya
apakah manusia mengetahui apabila dia melangkah apa yang akan terjadi
dari langkahnya itu ? Dan apakah dia mengetahui mengapa kakinya
bergerak, dan apa yang bergerak dengan bergeraknya kaki? Dan seterusnya.
Akan tetapi, manusia tidak mengetahui perincian itu. Kalau demikian,
tidaklah manusia mukhtar dalam perbuatannya.
c. Segala
perbuatan hanya dinisbatkan kepada yang melaksanakannya, bukan kepada
yang menciptakannya. Sesungguhnya Allah menciptakan perbuatan dan Allah
sendiri tidak bersifat dengan perbuatan-perbuatan itu. Yang bersifat
dengan perbuatan ialah tempat perbuatannya itu. Masalah taklif, pahala
dan siksa tidaklah tunduk kepada aturan-aturan yang dapat kita
analogikan kepada perbuatan-perbuatan kita. Aturan-aturan itu berada di
atas pengertian kita dan Allah tidak ditanyakan tentang perbuatan-Nya
3. Mu’tazilah
Aliran
Mu’tazilah mempercayai keadilan Tuhan, bahkan menganggapnya sebagai
satu dari sekian prinsip yang paling penting, karena tidak adil jika ia
membebani seseorang dengan harus memikul sesuatu yang tidak mampu
dilakukannya atau meminta pertanggungan jawaban dari apa yang tidak
dikerjakannya, atau jika ia menghitung hasil perbuatan yang tidak
dikehendakinya. Oleh karena itulah semua penganut Mu’tazilah sepakat
bahwa manusia kuasa dan mampu menciptakan perbuatan-perbuatannya, baik
maupun buruk, kelak di akhirat ia berhak mendapatkan pahala atau siksa
karena perbuatan-perbuatannya tersebut. Sedangkan Allah SWT adalah zat
Yang Maha Bersih dari penyandaran kejelekan dan kezaliman serta
perbuatan buruk dan maksiat, karena jika Allah menciptakan kezaliman
berarti Ia adalah zat Yang Maha Zalim.
Kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat
mutlak lagi. Kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang,
menurut faham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia dalam
menentukan kemauan dan perbuatan. Kekuasaan mutlak itu dibatasi pula
oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya,
Tuhan telah terikat pada norma-norma keadilan yang telah ditetapkan
sendiri oleh-Nya. Tuhan juga telah dibatasi oleh kewajiban-kewajiban
Tuhan terhadap manusia dan terakhir kekuasaan Tuhan dibatasi pula oleh
natur atau hukum alam (sunatullah). Yang terakhir ini mereka mengajukan argumen dengan mengutip ayat al-Quran:
Artinya: Sebagai
sunnah Allah yang Berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum
(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah
Allah. (Al-Ahzab: 62)
Dari
hal di atas dapat disimpulkan bahwa problematika kehendak menurut
aliran Mu’tazilah berkaitan erat dengan prinsip keadilan Tuhan yang
mereka kembangkan. Mereka memandang bahwa keadilan Allah menjadi hilang
jika seseorang dituntut harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang
tidak ia kerjakan, atau jika ia dihisab tentang perbuatan yang tidak ia
kehendaki. Kemudian mereka memperluas ide keadilan dengan membuat dua
teori sebagai cabang, yaitu teori tentang yang baik dan yang paling baik
serta teori kebaikan dan kejelekan.
Untuk
persoalan pertama mereka menetapkan bahwa orang bijak (Al-Hakim) tidak
akan melakukan suatu perbuatan kecuali karena ada hikmah dan tujuannya,
karena perbuatan yang tidak memiliki tujuan adalah kebodohan dan
sia-sia. Orang bijak adakalanya mengambil manfaat atau memberi manfaat
kepada orang lain. Ketika Allah mengambil manfaat darinya, sebenarnya
Allah berbuat untuk memberi manfaat kepada pihak lain. Mu’tazilah
seringkali berusaha secara serius menafsirkan kejelekan-kejelekan yang
nampak di dunia ini, dan mengembalikannya kepada kebaikan-kebaikan,
tetapi mereka tidak bisa memberikan argumentasi yang memuaskan secara
rasional, dan mereka mengakui bahwa mereka tidak mengklaim menguasai
semua tujuan Allah.
Kedua,
mereka berpendapat bahwa segala sesuatu dan segala perbuatan mempunyai
nilai instrik, sehingga di dalam perbuatan-perbuatan baik, seperti
keadilan dan kejujuran, terdapat sifat-sifat tertentu yang menjadikannya
baik, disamping di dalam perbuatan-perbuatan jelek, seperti zalim dan
dusta, terdapat sifat-sifat yang menjadikannya jelek. Akal dapat
mengetahui sifat-sifat baik dan buruk tersebut, sehingga akal bisa
menentukan bahwa yang baik adalah baik dan yang jelek adalah jelek. Lalu
bagaimana dengan wahyu atau syari’at? Bagi Mu’tazilah syari’at dalam
penentuan baik dan buruk sebenarnya tidak lebih hanya sekedar
konfirmasi, maksudnya wahyu atau syari’at berfungsi sebagai penguat dan
pembenaran (melegitimasi) terhadap perbuatan baik dan buruk yang
diketahui oleh akal, karena baik dan buruk itu bersifat rasional dan
akal bisa mengetahuinya sebelum adanya syari’at.
Variasi
menarik seputar tema ”penciptaan” (generation) berhasil dicetuskan oleh
salah seorang teolog Mu’tazilah yang terampil, Ibrahim Ibn Sayyar Ibn
Hani al-Nazhzham (w. 845 M). Dialah pelopor teori hukum alam (tabi’i)
yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan manusia, sebagaimana semua
kejadian alamiah, merupakan bentuk-bentuk gerak. Seperti halnya kejadian
alam, gerak juga dibuat Tuhan melalui hukum “keniscayaan alam.” Menurut
al-Nazhzham, Tuhanlah yang menciptakan segala sesuatu secara bersamaan,
kemudian Tuhan menganugerahkan sejumlah kekuatan atau kemampuan khas
yang tersembunyi di balik kekuatan atau kemampuan lainnya yang lebih
universal sampai saatnya ada kesiapan untuk tertampakkan dalam
tindakan-tindakan manusia maupun kejadian-kejadian fisik.
Teori ketersembunyian dan ketertampakan (kumûn wa zhuhûr)
ini adalah teori untuk memelihara gagasan ganda kebebasan berkehendak
manusia dan keefektifan hukum alam, tanpa mengganggu hak prerogatif
Allah sebagai pelaku utama dan pertama di alam raya. Namun, yang pasti
bahwa paham Mu’tazilah sepakat tentang dua prinsip utama dalam persoalan
kehendak bebas. Pertama, setiap individu bebas atau berkemampuan
memilih. Kedua, setiap individu berkemampuan mewujudkan semua kehendak
yang dipilihnya secara bebas.
Analisis
Kontemporer yang menarik disampaikan Husain Muruwwa (w. 1987) bahwa
wacana teologis (‘ilm kalam) dimulai dengan pertanyaan tentang takdir
sebagai bentuk tranformasi intelektual yang diakibatkan oleh akumulasi
ketidakpuasan sosial di kalangan kelompok-kelompok kecil, klan non Arab,
kaum pekerja, komunitas budak yang bekerja di pertanian atau jasa
publik, sedikit tuan tanah, dan beragam kelompok miskin di kota-kota.
Jika ketidakpuasan sosial kelompok rendah diungkapkan melalui revolusi
militer oleh perjuangan kelas rendah, maka kaum intelektual
mengekspresikannya dalam bentuk gagasan teologis dengan memprotes
hegemoni absolut Bani Umayyah dalam bidang politik, ekonomi serta
ideologi deterministiknya, maka Mu’tazilah mengajarkan bahwa manusia
memiliki kehendak bebas dan takdirnya tidak ditentukan sebelumnya.
Mu’tazilah adalah gerakan intelektual yang membangun suatu sistem
keterpaduan teologi yang merefleksikan seluruh perhatiannya pada
fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
4. Asy’ariyah
Paham Asy’ariyah—aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H—menolak kehendak bebas dan kehendak berbuat (free wil and free actrl)
yang diusung oleh Mu’tazilah bahwa individu, sebagai pelaku bebas,
merupakan pencipta perbuatan-perbuatannya sendiri. Menurut al-Asy’ari
(w. 324 H/935 M)—pendiri dan tokoh pertama aliran Asy’ariyah—semua
perbuatan-perbuatan manusia, baik dan buruk, diciptakan oleh Allah.
Paham Asy’ariyah berusaha memadukan dan menawarkan jalan tengah antara
paham Jabariyah dan Mu’tazilah.
Dalam karyanya al-Ibânah, al-Asy’ari menyatakan bahwa:
a. Tuhan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya:
Artinya:
Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami
menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka
jadilah ia. (QS. Al-Nahl/16: 40).
b. Tidak
ada kebaikan ataupun keburukan, kecuali yang dikehendaki-Nya, tak
seorang pun bertindak tanpa bantuan dan pengetahuan-nya. Segala bentuk
perbuatan manusia telah diciptakan dan ditentukan takdirnya oleh Allah.
Al-Asy’ari mengutip firman Allah:
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".(QS. Al-Shaffat/37: 96).
Al-Asy’ari
selanjutnya mengatakan bahwa yang namanya hamba tidak dapat menciptakan
apa-apa, bahkan diri mereka pun merupakan ciptaan Tuhan. Kebaikan dan
keburukan merupakan keputusan dan ketetapan Tuhan (Qadha dan Qadar).
Jika
Allah SWT pencipta semua perbuatan, lantas apa yang tersisa untuk
manusia dalam kehendaknya? Al-Asy’ari menjawab bahwa manusia mempunyai kasb (acquisation/perolehan) dan ikhtiar. Kasb mengandung arti keaktifan manusia berbuat. Kasb berarti semata-mata hubungan qudrat dan kehendak manusia dengan perbuatan, sedangkan perbuatan ini merupakan ciptaan Allah, karena qudrat kita sama sekali tidak bisa berpengaruh kepada yang dikodratinya, karena ia (kasb) sendiri adalah makhluk Tuhan. Dengan demikian manusia harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya.
Teori kasb
ini sebagai bentuk untuk menyelamatkan tanggung jawab manusia dan
kekuasaan mutlak Tuhan. Artinya Allah menciptakan perbuatan-perbuatan
manusia dan manusia memperoleh perbuatan-perbuatan itu, sehingga ia
bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan tersebut. Teori kasb adalah
upaya rasional untuk menyerasikan tuntutan rasional mengenai kehendak
bebas manusia dan ajaran tradisional mengenai takdir, baik yang berasal
dari kitab suci maupun dari mentalitas manusia.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Allah
sebagai Pencipta alam semesta dan Penguasa hari pembalasan, mengatasi
segala apa yang ada. Ia adalah wujud yang mempunyai kehendak dan
kekuasaan yang tidak terbatas di samping memiliki keadilan.
Mausia
sebagai makhluk ciptan Allah mendapat kemuliaan untuk menjadi
khalifahnya di muka bumi ini, pemikul amanah yang akan dimintai
pertanggung jawaban di hadapan mahkamah agung. Allah memberikan akal
untuk memahami wahyu yang diturunkan-Nya melalui rasul-rasul-Nya, di
samping hak kebebasan dan hak memiliki sesuai dengan taklif yangmenjadi
tanggung jawabnya.
Namun
dalam sejarah perkembangan ilmu kalam, terdapat perbedaan-perbedaan
konsep tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini didasari
oleh perbedaan pemahaman terhadap kekuatan akal, fungsi wahyu, kebebasan
serta kekuasaan manusia di hadapan Tuhan yang Maha Berkehendak.
Menurut
golongan Asy’ariyah Tuhan mempunyai kehendak dan kekuasaan mutlak.
Segala sesuatu, apakah kebaikan atau kejahatan menurut kehendak Tuhan.
Tidak seorang pun yang sanggup berbuat sesuatu, kalau tidak dengan
kehendak Allah. Kita lemah dan tidak sanggup keluar dari ilmu Allah.
Allah adalah satu-satunya pencipta. Perbuatan manusia pun adalah
ciptaannya. Sesuai dengan firman Allah:
Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".(as-shaffat:96)
Dari
keterangan di atas, jelas bahwa Asy’ari menghubungkan antara ilmu Tuhan
dengan kehendak-Nya untuk menolak pendapat yang menyatakan bahwa
kehendak-Nya menyalahi apa yang diketahui dan sekaligus menetapkan bahwa
Tuhan sesungguhnya menghendaki terjadinya apa yang diketahui, sebagai
mana yang telah Dia ketahui.
Al-Ghazali,
seorang tokoh aliran Asy’ariyah mengemukakan bahwa Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu. Kekuasaan dan kehendak-Nya adalah mutlak. Oleh
sebab itu, tak ada satu pun yang merupakan kewajiban bagi-Nya.
Problematika
kebebasan kehendak manusia yang berujung pada kebebasan berpikir
benar-benar mempunyai kedudukan khusus dalam sejarah pemikiran Islam,
bahkan dianggap sebagai problematika rasional paling tinggi yang pernah
ada dalam sejarah Islam, menghambat kemajuan dan perkembangan kaum
Muslimin. Di sekitarnya bermunculan berbagai pertanyaan, yang karenanya
banyak menimbulkan perdebatan dan melahirkan banyak aliran pemikir yang
spesifik atas namanya. Dengan berlalunya zaman, aliran-aliran ini masih
tetap beraneka ragam dan banyak jumlahnya. Dalam topik kehendak bebas
ini mereka sampai pada kesimpulan untuk memadukan antara rasio dan wahyu
Paham Asy’ariyah menolak kehendak bebas dan kehendak berbuat (free wil and free actrl)
yang diusung oleh Mu’tazilah bahwa individu, sebagai pelaku bebas,
merupakan pencipta perbuatan-perbuatannya sendiri. Menurut Al-Asy’ari
–pemuka golongan Asy;ariyah- semua perbuatan-perbuatan manusia, baik dan
buruk, diciptakan oleh Allah. Paham Asy’ariyah berusaha memadukan dan
menawarkan jalan tengah antara paham Jabariyah dan Mu’tazilah.
Al-Asy’ari
selanjutnya mengatakan bahwa yang namanya hamba tidak dapat menciptakan
apa-apa, bahkan diri mereka pun merupakan ciptaan Tuhan. Kebaikan dan
keburukan merupakan keputusan dan ketetapan Tuhan (Qadha dan Qadar).
Jika
Allah SWT pencipta semua perbuatan, lantas apa yang tersisa untuk
manusia dalam kehendaknya? Al-Asy’ari menjawab bahwa manusia mempunyai kasb (acquisation/perolehan) dan ikhtiar. Kasb mengandung arti keaktifan manusia berbuat. Kasb berarti semata-mata hubungan qudrat dan kehendak manusia dengan perbuatan, sedangkan perbuatan ini merupakan ciptaan Allah, karena qudrat kita sama sekali tidak bisa berpengaruh kepada yang dikodratinya, karena ia (kasb) sendiri adalah makhluk Tuhan. Dengan demikian manusia harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya.
[1] H.M. Amin Nurdin dan Afifi fauzi, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, (Jakarta: PT.Pustaka antara, 1996), Hlm.92.
[2] Harun Nasution, Teologi islam, Aliran-aliran Sejarah, Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), Hlm.119.
thanks atas materinya :-)
BalasHapusMasalah Kasb dan ikhtiyar belum paham saya mas. Bisa minta tolong gak di jelaskan lebih rinci dengan bahasa yg berbeda. Jujur beberapa waktu ini memang saya sdg berpikir menemukan keserasian antara Qudrat Allah dan Qudrat Haditsah (makhluq). Di pemahaman mu'tazilah dan lainnya saya belum menemukan titik terang. Di dalam penjelasan diatas memang terlihat benar dalam satu sisi. Namun di sisi lain terdapat ketimpangan. Terlebih dalam pembahasan Qudrat dan dalil aqlinya.
BalasHapus