PENDAHULUAN
Islam
dan pembentukan peradaban dunia bermula dengan adanya gerakan rohaniah
yang meresap pandangan hidup Islam dalam jiwa yang bermula dari zuhur
Islam itu sendiri sebagai sebuah agama rahmat ke seluruh alam. Tidak ada
lagi zaman yang lain selepas kemunculan Islam, dengan bersumber ke
Al-Quran dan Sunnah Rasul SAW, Islam jadi satu kekuatan besar yang
melimpahkan rahmatnya dari tanah Arab yang kering dan berdebu menjai
hijau dan subur. Bahkan terus merambat ke berbagai penjuru dunia, dari
Bumi Farsi yang sekarang dikenal dengan Iran melintasi Bilad al-Sham
mencakup Jordania, Syria dan Irak yang pernah dijajah imperium Romawi
sampai ke Mesir dan Bilad al-Sudan atau Afrika dan terus menyeberang ke
Mawara al-Nahr Negara yang kini bernama Turkmenistan, Uzbekistan, dan
Goergia ke Al-Hind yang kini dikenal dengan India tempat para ahli ilmu
alam Islam.
Peradaban
Islam ini akhirnya menginjak Tanah Besar China dan seterusnya ke Bilad
al-Jawi yang lebih dikenal dengan Tanah Melayu yang mencakup semenanjung
Malaysia, Borneo, Indonesia, Philipina, dan sebagian dari Thailand dan
Kamboja. Merambahnya Islam ke semua tempat sekaligus membawa perubahan
alamia kepada keilmuan, peta dunia, ekonomi, politik, dan social dan
budaya dunia ketika itu. Jalan-jalan pedagangan menjadi garis penentu
yang memisahkan Bandar-bandar utama di Dunia, sekaligus memperkaya
peradaban dan juga bahasa.
Islam telah dikenal ke Nusantara atau Indonesia
pada abad pertama Hijriyah atau 7 Masehi, meskipun dalam frekuensi yang
tidak terlalu besar melalui perdagangan dengan para pedagang muslim
yang berlayar ke kawasan ini singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan
Islam lebih intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara,
berlangsung beberapa abad kemudian.
Bukti
peninggalan pertama arkeologi Islam di Asia Tenggara adalah dua makam
muslim yang ada sekitar akhir abad ke-11 M di dua tempat yang sebenarnya
agak berjauhan, di Padurangga (sekarang Panrang di Vietnam) dan di
Leran, Gresik, Jawa TImur). Makam di Gresik adalah makam Fatimah binti
Maimun, pada tahun 1082 M, yang diperkirakan adalah putri raja Gedah
(Kedah).
PEMBAHASAN
SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
A. Kedatangan Islam di Indonesia
Islam masuk di Indonesia pada abad ke-7 M dengan berimannya orang perorang.[1]
Akan tetapi menurut Taufik Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi
Indonesia di tempat yang disinggahi oleh pedagang Muslim itu beragama
Islam, diduga pedagang Arab tersebut hanya berdiam untuk menunggu muslim
yang baik bagi pelayaran saja.[2]
Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat
internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di
Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak
abad ke-7.
Menurut
sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang
pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai
Sumatera. Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (berkuasa pada 717-720 M) dari Khalifah Bani Umayyah (661-750 M). “…..Saya
ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan
Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Maka
pada tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam.
Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam.[3]
Cikal
bakal kekuasaan Islam telah dirintis sejak periode abad 1-5 H / 7-8 M,
tetapi tenggelam oleh hegemoni maritim Sriwijaya di Palembang dan
Kerajaan Hindu Jawa seperti Singasari dan Majapahit. Pada masa itu,
pedagang dan mubalig Islam membentuk komunitas Islam yang berkembang
dengan pesat dan damai karena ajarannya disukai oleh penduduk setempat.
Kemajuan
politik dan ekonomi Sriwijaya berlangsung sampai abad ke-12 M. Pada
akhir abad ke-12 M. Sriwijaya mulai mengalami kemunduran dan dipercepat
oleh usaha-usaha kerajaan Singasari yang sedang bangkit, yang mana
melakukan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 M. Sedangkan di pesisir
Aceh, pemukiman muslim sudah ada sejak menjelang abad ke-13 dan pada
pertengahan abad ke-13 didirikan kerajaan Islam Samudera Pasai, diiringi
dengan berdirinya kerajaan Islam pada abad ke-15 M di Malaka Kemudian
bersamaan dengan mulai memuncaknya kekuasaan kedua kerajaan tersebut,
kerajaan Singasari dan Majapahit pun mengalami kemunduran karena
kekacauan-kekacauan yang terjadi akibat perebutan kekuasaan.[4]
Kedatangan
Islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat, umumnya
dilakukan secara damai. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang
Muslim yang posisi ekonominya kuat karena menguasai pelayaran dan
perdagangan. Apabila kerajaan Islam sudah berdiri, penguasanya
melancarkan perang terhadap kerajaan non-Islam. Hal itu bukanlah karena
persoalan agama tetapi karena dorongan politis untuk menguasai
kerajaan-kerajaan disekitarnya.
Proses
Islamisasi memang tidak berhenti sampai berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam, tetapi terus berlangsung intensif dengan berbagai cara dan
saluran. [5]
Saluran dan cara-cara Islamisasi di Indonesia, yaitu : Saluran
perdagangan, saluran pekawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan,
saluran kesenian, dan politik.[6]
Adapun faktor-faktor yang membantu tersebarnya agama Islam dengan cepat di Indonesia dan pulau-pulau sekitarnya dapat diringkas dengan beberapa hal berikut ini:[7]
- Mudahnya agama Islam, tidak terdapat hal-hal yang rumit bagi seseorang yang berkeinginan memeluk agama Islam.
- Jernihnya hati penduduk Indonesia dan fitrah mereka yang siap untuk memeluk agama Islam.
- Pernikahan yang terjadi antara orang-orang Arab dengan penduduk Indonesia.
- Akulturasi bangsa Arab dengan penduduk Indonesia dan pergaulan mereka dengan penduduk Indonesia seperti saudara kandung
B. Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia
Kerajaan
Islam di Indonesia diperkirakan kejayaannya berlangsung antara abad
ke-13 sampai dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut
didorong oleh maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan
pedagang-pedagang Islam dari Arab, India, Persia,
Tiongkok, dan lain-lain. Kerajaan tersebut dapat dibagi berdasarkan
wilayah pusat pemerintahannya, yaitu di Sumatera, Jawa, Maluku,
Kalimantan, dan Sulawesi.[8]
1. Kerajaan Samudera Pasai ( Sumatera )
Kerajaan
Samudera Pasai tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan Islam yang
pertama. Kerajaan ini didirikan pertama kali oleh seorang penguasa lokal
yang bernama Marah Silu dari Samudera, dia berhasil mempersatukan
daerah Samudera dan Pasai. Dan kedua daerah tersebut dijadikan sebuah
kerajaan dengan nama Samudera Pasai. Kerajaan Samudera Pasai terletak di
Kabupaten Lhokseumauwe, Aceh Utara, yang berbatasan dengan selat malaka
dan berkembang pada abad ke-13 dan berlangsung sampai tahun 1524 M.
Peranan
Samudera Pasai dalam bidang perdagangan adalah dengan letak yang
strategis, maka Samudera Pasai berkembang sebagai kerajaan maritim dan
memiliki hegenomi atas pelabuhan-pelabuhan yang penting di pesisir
pantai barat Sumatera serta berkembang sebagai Bandar Transito. Nilai
yang dapat diambil dari keberadaan kerajaan Samudera Pasai adalah Nilai
keterbukaan dan kebersamaan dan penghormatan kepada setiap golongan
masyarakat serta prinsip kepemimpinan yang dekat dengan rakyat.
Keberadaan kerajaan Samudera Pasai dibuktikan dengan adanya : Catatan Marcopolo dari Venetia, catatan Ibnu Batutah dari Maroko, Batu nisan Sultan Malik al-Saleh, dan Jirat Putri Pasai.
Raja-raja yang memerintah di Samudera Pasai antara lain :
- Sultan Malik al-Saleh (1285-1297)
- Sultan Muhammad (Malik al-Tahir I)
- Sultan Ahmad (Malik al-Tahir II)
- Sultan Zaenal Abidin (Malik al-Tahir III)
Selain
kerajaan Samudera Pasai, berdiri juga kerajaan-kerajaan Islam di
Sumatera diantaranya yaitu kerajaan Aceh dan kerajaan Malaka.
2. Kerajaan Demak (Jawa)
Demak
pada masa sebelumnya sebagai suatu daerah yang dikenal dengan nama
Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah
kekuasaan Majapahit. Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah
salah seorang keturunan Raja Brawijaya V yaitu raja Majapahit.
Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang sebagai kota
dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan
kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan
terhadap Majapahit. Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai
Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah.
Kerajaan Demak terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di
daerah Bintoro di muara sungai Demak, yang dikelilingi rawa yang luas di
perairan Laut Muria.[9]
Pemerintahan
Raden Patah berlangsung dari akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M.
Kemudian pada tahun 1507 digantikan oleh anaknya, Pati Unus yang masih
berumur 17 tahun. Selanjutnya Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang
memerintah pada tahun 1524-1546. Pada masa ini, Islam dikembangkan ke
seluruh tanah Jawa hingga ke Kalimantan Selatan. Pada Tahun 1546, Sultan
Trenggono terbunuh digantikan adiknya, Prawoto yang akhirnya juga
dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipong, pada tahun 1549. Dan
selanjutnya Aria Penangsang pun dibunuh oleh Jaka Tingkir dari kerajaan
Pajang, dengan terbunuhnya Aria Penangsang maka berakhirlah kerajaan
Demak dan berdirilah kerajaan Pajang.[10]
3. Kerajaan Banten (Jawa)
Banten
atau Sunda Kelapa yang terletak di ujung barat pulau Jawa dulunya
adalah daerah perluasan kekuasaan kerajaan Demak, di bawah pimpinan
Fatahillah. Dan setelah Banten diislamkan oleh Fatahillah maka daerah
Banten diserahkan kepada putranya yang bernama Hasannudin dan dia
langsung meletakkan dasar-dasar pemerintahan kerajaan Banten dan
mengangkat dirinya sebagai raja pertama, memerintah tahun 1552-1570.
Sedangkan Fatahillah sendiri menetap di Cirebon dan banyak menekuni hal keagamaan di sana.
Pada
masa pemerintahan Hasannudin, Banten dapat melepaskan diri dari
kerajaan Demak sehingga Banten dapat berkembang cukup pesat dalam
berbagai bidang kehidupan. Lokasi kerajaan Banten terletak di wilayah
Banten sekarang, yaitu di tepi Timur Selat Sunda sehingga daerahnya
strategis dan sangat ramai untuk pedagangan Nasional.
Silsilah Raja-raja Banten :[11]
- Sultan Hasannudin (1552-1570)
- Panembahan Yusuf (1570-1580)
- Maulana Muhammad (1580-1596)
- Abulmufakir (1596-1640)
- Abumaali Achmad (1640-1651)
- Sultan Abdul Fatah / Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682)
- Abdulnasar Abdulkahar / Sultan Haji (1682-1687)
Selain
kerajaan Demak dan kerajaan Banten, berdiri juga kerajaan-kerajaan
Islam di Jawa diantaranya yaitu kerajaan Pajang, kerajaan Mataram, dan
kerajaan Cirebon.
4. Kerajaan Banjar (Kalimantan)
Masuknya
Islam di Kalimantan Selatan, identik dengan berdirinya kerajaan Banjar
yang merupakan kelanjutan kerajaan Daha yang beragama Hindu.
Peristiwanya dimulai ketika terjadi pertentangan di istana antara
Pangeran Samudera, putra Raja Sukarama sebagai pewaris tahta kerajaan
Daha dengan pamannya, pangeran Tumenggung. Pertentangan ini
mengakibatkan terbunuhnya Pangeran Mangkubumi, anak tertua Raja
Sukarama, maka Pangeran Tumenggunglah yang tampil menjadi raja Daha.
Sedangkan
Pangeran Samudera berkelana ke wilayah muara. Dan atas bantuan seorang
patih, yang bernama Patih Masih, Pangeran Samudera dapat menghimpun
kekuatan perlawanan. Dan pada serangan pertama, Pangeran Samudera
berhasil menguasai Muara Bahan, sebuah pelabuhan strategis yang sering
dikunjungi para pedagang luar, seperti dari pesisir utara Jawa,Gujarat,
dan Malaka.
Peperangan
terus berlangsung secara seimbang. Patih Masih mengusulkan kepada
Pangeran Samudera untuk meminta bantuan kepada kerajaan Demak. Sultan
Demak bersedia membantu asal Pangeran Samudera nanti masuk Islam. Dan
akhirnya, kemenangan berpihak kepada Pangeran Samudera. Sesuai dengan
janjinya, ia beserta seluruh penjabat kraton dan rakyat Banjar masuk
Islam. Ia pun diberi nama Sultan Suryanullah atau Suriansyah dan
dinobatkan sebagai raja pertama dalam kerajaan Islam Banjar sekitar
tahun 1526 M. Kemudian, Sultan Suryanullah digantikan oleh putra
tertuanya yang bergelar Sultan Rahmatullah. Lalu raja-raja Banjar
berikutnya adalah Sultan Hidayatullah dan Sultan Musta’inullah.[12]
Selain kerajaan Banjar, berdiri juga kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan yaitu kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
5. Kerajaan Islam di Maluku
Menurut H. J. de Gaff, raja pertama yang benar-benar Muslim adalah Zayn Al Abidin (1486-1500 M). Di Giri, ia
dikenal dengan nama Raja Bulawa atau Raja Cengkeh. Ketika ia kembali
dari Jawa, ia mengajak Tuhubahahul yang dikenal kemudian sebagai
penyebar utama Islam di kepulauan Maluku.
Di
Ambon, tepatnya di Hitu tersebarnya Islam dikarenakan datangnya Ibrahim
yang menjadi Qadhi di Ambon dan memberikan pengajaran kepada seluruh
guru Agama Islam di pulau ini. Menurut riwayat, sumber Islam di Ambon
adalah Jawa.
6. Kerajaan Islam di Sulawesi (Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu)
Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi, yang merupakan daerah transito sangat strategis.
Agama
Islam mulai masuk ke Gowa-Tallo pada waktu Datu ‘Ri Bandang datang ke
kerajaan ini, Alauddin (1591-1636 M) adalah sultan pertama yang menganut
agama
Islam tahun 1605. Kerajaan Gowa-Tallo menyampaikan “Pesan Islam” kepada kerajaan-kerajaan lain. Raja Luwu langsung menerima, tetapi Wajo, Soppeng, dan Bone terikat dalam aliansi Tallumpoeco dalam perebutan hegemoni dengan Gowa-Tallo, Islam kemudian melalui peperangan. Wajo menerima Islam tanggal 10 Mei 1610 dan Bone tanggal 23 November 1611.
Islam tahun 1605. Kerajaan Gowa-Tallo menyampaikan “Pesan Islam” kepada kerajaan-kerajaan lain. Raja Luwu langsung menerima, tetapi Wajo, Soppeng, dan Bone terikat dalam aliansi Tallumpoeco dalam perebutan hegemoni dengan Gowa-Tallo, Islam kemudian melalui peperangan. Wajo menerima Islam tanggal 10 Mei 1610 dan Bone tanggal 23 November 1611.
Dalam
bidang politik, kerajaan-kerajaan Islam ini pada mulanya mempergunakan
agama untuk memeperkuat diri dari kerajaan-kerajaan non Islam, terutama
yang mengancam kehidupan politik dan ekonomi. Meskipun demikian, kalau
kepentingan politik dan ekonomi antar kerajaan-kerajaan Islam itu
sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak
ada. Oleh karena kepentingan yang berbeda di antara kerajaan-kerajaan
itu pula, sering satu kerajaan Islam membantu pihak lain, untuk
mengalahkan kerajaan Islam yang lain.
Hubungan
antar kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang budaya
dan keagamaan. Kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom
kultural yang sama, yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang semakin erat.[13]
Keadaan kerajaan-kerajaan Islam menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 ke Indonesia
berbeda-beda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi
juga proses islamisasinya. Di Sumatera, penduduk sudah Islam sekitar
tiga abad, sementara di Maluku dan Sulawesi proses Islamisasi baru saja berlangsung.
Di
Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke pedalaman,
yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat
pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan
perkembangan sejarah Islam di Jawa, diantaranya adalah :[14]
- Kekuasaan dan sistem politik didasarkan atau basis agraris
- Peranan daerah pesisir dan juga Jawa dalam perdagangan dan pelayaran mundur
- Terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.
C. Islam di Indonesia Pada Zaman Modern dan Kontemporer
C.1. Gerakan Modern Islam
Pembaruan
dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yng ditujukan
terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran
progresif Kerajaan Usmani yang merupakan pemangku Khilafah Islam,
setelah abad ke-17, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga
Arab di pinggiran imperium itu. Yang terpenting diantaranya adalah
gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (Salafiyyah).
Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaruan
Islam abad ke-20 yang lebih bersifat intelektual. Gerakan yang lahir di
Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan
kebangkitan Islam di Indonesia.
Bermula
dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau, yang
disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di
Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk
organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Sarekat Dagang Islam
(SDI), Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan partai-partai politik, seperti Sarekat
Islam (SI), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), dan Partai Islam
Indonesia (PII). Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan
organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar baru, menandakan
tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern.[15]
C.2. Organisasi Politik dan Organisasi Sosial Islam
1. Masa Revolusi dan Demokrasi Liberal
Moh.
Hatta dalam sidang PPKI setelah kemerdekaan berhasil dengan mudah
menyakinkan anggota bahwa hanya suatu konstitusi “sekular” yang
mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia.
Tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila Pertama
Pancasila dengan segala konsekuensinya dihapuskan dari konstitusi.
Keputusan
tentang penghapusan tujuh kata-kata dari Piagam Jakarta itu sama sekali
tidak mengakhiri konflik ideologi yang telah berlangsung lama pada masa
sebelum kemerdekaan. Para nasonialis
Islam harus menerima kenyataan itu, Karena mereka menyadari bahwa masa
revolusi bukanlah saat yang tepat untuk mendesak terlaksananya cita-cita
Islami mereka.
Dalam
masa-masa revolusi, konflik ideologi tidak begitu jelas, tetapi dapat
dirasakan dan disaksikan melalui pergantian-pergantian kabinet yang
silih berganti. Dan dari tiga kekuatan ideologi itu, muncullah tiga
alternative dasar Negara : Islam, Pancasila, dan
Sosial Ekonomi. Tetapi, dalam perjalanan sidang-sidang Konstituante itu,
perdebatan ideologis mengenai dasar Negara terkristal menjadi Islam dan
Pancasila.
Usaha
partai-partai Islam untuk menegakkan Islam sebagai ideologi negara di
dalam konstituante mengalami jalan buntu. Demikian juga dengan
Pancasila, yang oleh umat Islam waktu itu, dipandang sebagai milik kaum
“anti-Muslim”, setidak-tidaknya di dalam konstituante. Memang,
kesempatan untuk menyelesaikan tugas konstituante masih terluang, namun
pekerjaannya diakhiri dengan Dekrit Presiden 1959, konstituante
dinyatakan bubar dan UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali.
2. Masa Demokrasi Terpimpin
Di
masa Demokrasi Terpimpin ini, Soekarno kembali menyuarakan ide lamanya
Nasakom, suatu pemikiran yang ingin menyatukan nasionalis, “sekular”,
Islam, dan komunis. Akan tetapi, idenya itu dilaksanakan dengan caranya
sendiri. Pancasila pun ditafsirkan sesuai dengan pemikirannya. Masa ini,
karena lebih didominasi oleh PKI, memendam ketegangan antara Islam dan
komunisme. Masa Demokrasi Terpimpin itu berakhir dengan gagalnya Gerakan
30 September PKI Tahun 1965. Umat Islam bersama ABRI dan golongan
lainnya bekerjasama menumpas gerakan itu.
3. Masa Orde Baru
Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia
berada di tangan Orde Baru. Tumbangnya Orde Lama memberikan
harapan-harapan baru kepada kaum Muslimin. Namun, kekecewaan pun muncul
dalam diri umat Islam. Mereka merasa, meskipun
komunis telah tumbang, kenyataan berkembang tidak seperti yang
diharapkan. Rehabilitasi Masyumi, partai Islam berpengaruh yang
dibubarkan Soekarno, tidak diperkenankan. Bahkan, tokoh-tokohnya juga
tidak diizinkan aktif dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan kemudian.
Orde
Baru memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem politik. Pada
tanggal 26 November 1966, ditetapkan RUU kepartaian, RUU pemilu, dan RUU
Susunan MPR, DPR, dan DPRD. Yang kedua dan ketiga ditetapkan 22
November 1969. Pada 9 Maret 1970, fraksi-fraksi parpol di DPR
dikelompokkan. Pada tanggal 5 Februari 1973, Parpol difusikan ke dalam
PPP dan PDI . Pada 14 Agustus 1975 RUU kepartaian dipisahkan. Penataan
kehidupan kepartaian berikutnya adalah penetapan asas tunggal,
Pancasila, untuk semua Parpol, tidak ada lagi ideologi Islam, jadi tidak
ada lagi partai Islam.
Asas
tunggal merupakan awal dari era baru peran Islam dalam kehidupan
berbangsa ini. Peran politik (formal) Islam tidak ada lagi, tetapi
sebagai agama yang mengaku tidak memisahkan diri dari persoalan politik,
tentu peran itu akan terus berlangsung. Mungkin dengan pendekatan yang
berbeda.[16]
4. Kebangkitan Islam di Masa Orde Baru
Sejak
dekade 1970-an, kegiatan Islam semakin berkembang bila dibandingkan
dengan waktu-waktu sebelumnya. Terlihat, ada tanda-tanda kebangkitan
Islam kembali dalam masa Orde Baru ini. Fenomena yang sangat bisa
dilihat adalah munculnya bangunan-bangunan baru Islam; masjid-masjid,
mushalla-mushalla, madrasah-madrasah, juga pesantren-pesantren.
Memang,
setelah pimpinan-pimpinan nasionalis Islam beberapa kali melewati batu
sandung politik, mereka sudah berubah secara perlahan. Mereka tidak lagi
berusaha keras secara terbuka untuk membentuk negara Islam, tetapi
melakukan pendekatan lain, dengan berusaha melaksanakan beberapa “unsur”
tertentu dari hukum Islam dan dakwah Islamiyah. Beberapa orang tokoh
Masyumi dulu, banyak aktif lembaga-lembaga dakwah, ada juga yang aktif
di perguruan tinggi Islam swasta, dan ada juga yang aktif dalam
organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam.
Disamping
itu, sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan intelektual muda Muslim,
melontarkan ide-ide segar untuk masa depan umat. Kebanyakan mereka
adalah intelektual Muslim berpendidikan “umum” dan merupakan buah dari
kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan
Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM).
Disamping
itu pula, Departemen Agama yang dibentuk sebagai konsesi bagi umat
Islam juga banyak dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam
tersebut. Empat belas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) induk dengan
sekian banyak cabangnya sangat berjasa menyiapkan guru-guru agama,
pendakwah dan mubalig dalam kuantitas besar. Demikian juga dengan
kebijaksanaan pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dengan
asas tunggal, memang wadah politik umat Islam hilang. Islam nampaknya
menarik diri dari dunia politik. Namun, dengan pembaharuan politik
bangsa ini, umat Islam terlepas dari ikatan yang sempit menuju dunia
yang lebih luas. Perjuangan kultural adalah lahan yang sangat luas
dibandingkan dengan dunia politik saja, aspek ini merupakan pusat
perhatian umat Islam di masa lalu.[17]
D. Peradaban Islam di Indonesia
D.1. Sebelum Kemerdekaan
1. Birokrasi Keagamaan
Ibu kota
kerajaan disamping merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, juga
merupakan tempat berkumpul para ulama dan muballig Islam. Sultan
Iskandar Muda (1607-1636 M) mengangkat Syaikh Syamsuddin Al-Sumatrani
menjadi mufti kerajaan Aceh dan begitu pula terjadi pada raja-raja yang
lain.
Kedudukan
ulama disamping sebagai penasihat raja, juga duduk dalam
jabatan-jabatan keagamaan yang tingkat dan namanya berbeda antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Tetapi penerapan hukum Islam terkuat ada
pada kerajaan Aceh dan Banten.
2. Ulama dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan
Ada dua cara yang dilakukan oleh para ulama untuk menyebarkan kebudayaan Islam :
- Membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai muballig.
- Melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh.
Ilmuwan Muslim terkenal pertama di Indonesia
adalah Hamzah Fansuri yang menulis Asrarul-‘Arifin fi Bayan ila Suluk
wa Al-Tauhid. Kemudian, Syamsuddin Al-Sumatrani mengarang buku Mir’atul
Mu’minin (1601 M); Nurudin Al-Raniri yang menulis banyak buku
diantaranya al-Shirath, al-Mustaqim berisi uraian tentang hukum
kitab-kitab suluk di Jawa bersifat mistik yang terambil dari tradisi
mistik (tasawuf) Islam.
Di
Sulawesi, pemikiran tasawuf dikembangkan oleh Syaikh Yusuf Makassar
(1626-1699 M) yang berlayar di Timur Tengah. Pada abad ke-19 M,
pemikiran tasawuf mulai bergeser kepada pemikiran fiqih seperti
tergambar dalam karya-karya ulama pada masa itu. Syaikh Muhammad Arsyad
Al-Banjari misalnya (1710-1812 M) menulis kitab fiqih Sabilal Muhtadin
dan kitab Perukunan Mellayu.
3. Arsitek Bangunan
Hasil-hasil
seni bangunan pada perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia,
antara lain : mesjid-mesjid kuno Demak, mesjid Agung Banten, mesjid
Baiturrahman di Aceh, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, dan di
daerah-daerah lain. Beberapa masjid kuno, bangunannya mengingatkan kita
kepada seni bangunan Candi selain dari itu, pintu gerbang baik di
keraton maupun pemakaman berbentuk Candi-bentar, kori agung, jelas
menunjukkan corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian
pula, nisan-nisan kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon,
dan Banten menunjukkan unsur-unsur seni ukir dan perlambang pra-Islam.
Di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera terdapat beberapa nisan kubur yang
lebih menunjukkan unsur seni Indonesia pra-Hindu dan pra-Islam.
D.2. Setelah Kemerdekaan
1. Departemen Agama
Departemen
Agama (dulu namanya Kementrian Agama) didirikan tanggal 3 Januar1 1946
pada masa Kabinet Syahrir. Menteri Agama pertama adalah M. Rasyidi yang
diangkat pada tanggal 12 Maret 1946. Berdirinya Departemen Agama
merupakan penyesuaian pemerintah kala itu dengan keinginan mayoritas
Muslim. Menurut B. J. Boland walaupun banyak pendapat yang saling
bertentangan tentang kementrian, secara bertahap makna yang positif dari
kementrian akan tampil ke depan yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
- Bahwa kementrian itu menawarkan kemungkinan bagi agama, khususnya Agama Islam, untuk berperan seefektif mungkin dalam negara dan masyaraqat.
- Dalam
sebuah negeri yang sangat bercorak Muslim, kementrian ini merupakan
suatu jalan tengah antara negara sekular dan negara Islam.
Dalam
jangka waktu beberapa tahun di awal berdirinya kementrian ini, telah
dikeluarkan berbagai peraturan yang menentukan tugas serta ruang lingkup
kementrian agama.
2. Pendidikan
Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia
adalah pesantren yang tersebar di berbagai pelosoknya. Pada awal abad
ke-20, persoalan administrasi dan organisasi pendidikan mulai mendapat
perhatian setelah berkembangnya pemikiran pembaharuan dalam Islam. Hal
ini untuk memperbaiki, tidak ada kurikulum yang jelas dalam pesantren
untuk tingkat lanjutan.
Setelah Indonesia
merdeka, Badan Pekerja Komite Nasional pusat dalam bulan Desember 1945
menganjurkan agar pendidikan madrasah yang ada pada masa sebelumnya
diteruskan. Pada tahun 1946 Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru
agama, dan pada tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di
Solo. Beberapa sekolah agama Islam direncanakan dan didirikan oleh
Departemen Agama. Sementara, perguruan Islam swasta masih berjalan.
Bentuk-bentuk lembaga pendidikan swasta tersebut adalah sebagai berikut :
- Pesantren Indonesia klasik
- Madrasah diniyah (agama)
- Madrasah-madrasah swasta (negeri)
Kaum
muslimin sejak awal berpikir untuk membangun Perguruan Tinggi Islam,
akhirnya Mahmud Yunus membuka Islamic College pertama tanggal 9 Desember
1940 di Padang, terdiri dari Fakultas Syari’ah, Fakultas Pendidikan dan
Bahasa Arab. Pada tahun 1945, muncul Universitas Islam Indonesia (UII)
yang merupakan perguruan tinggi Islam pertama yang memiliki
fakultas-fakultas non agama.
Pada
tanggal 26 Sepetember 1951 dibuka perguruan tinggi dengan nama
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), dan pada tahun 1957 di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Gabungan keduanya membentuk IAIN yang terus berkembnag pesat.[18]
3. Hukum Islam
Salah
satu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh
Departemen Agama adalah hukum atau syariat. Pengadilan Islam di
Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal yang bersifat pribadi.
Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa colonial Belanda.
Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para
hakim Islam tampak ketat dan kaku, karena hanya berpegang pada mazhab
Syafi’i. Sementara itu, belum ada kitab undang-undang yang seragam yang
dapat dijadikan pegangan para hakim dan Pengadilan Agama. Karena itulah,
sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syariah di
perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan.
Baru
pada tahun 1974, hukum perkawinan diundangkan, setelah Dewan Perwakilan
Rakyat menyetujui pada bulan Desember 1973. Pada tanggal 21 Maret 1984
diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung
dan Menteri Agama yang menetapkan terbentuknya sebuah panitia dengan
tugas menangani pelaksanaan kompilasi. Dan akhirnya panitia kompilasi
itu telah menghasilkan tiga buku hukum, masing-masing tentang Hukum
Perkawinan (Buku I), Hukum Kewarisan (Buku II), dan Hukum Perwakafan
(Buku III). Ketiga buku tersebut dilokakaryakan pada bulan Februari 1988
dan mendapat dukungan yang luas.
Kemantapan
posisi hukum Islam dalam sistem hokum nasional semakin meningkat
setelah Undang-Undang Peradilan Agama ditetapkan tahun 1989.
Undang-Undang Peradilan Agama ini merupakan kelengkapan dari UU No.
14/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.[19]
4. Haji
Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat Islam Indonesia
ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggaraan
perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi, selama
zaman jajahan, keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia
merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1964, Dewan Urusan Haji
mengajak PHI untuk kembali mengurus jamaah haji, tetapi campur tangan
pemerintah di dalamnya semakin besar, karena tanggung jawab
penyelenggaraan haji terletak pada pemerintah setempat. Namun, semua
usaha yang dilakukan itu tidak ada yang berhasil baik. Setelah Soekarno
jatuh tahun 1966, organisasi-organisasi swasta mulai lagi melakukan
kegiatannya menyelenggarakan perjalanan haji.
Diantara alasan mengapa pemerintah melakukan monopoli dalam perjalanan penyelenggaraan haji adalah sebagai berikut :
- Pemerintah merasa bertanggung jawab atas penyelenggaraan perjalanan haji agar masyarakat merasa tentram dan terjamin.
- Kemungkinan faktor laba juga menjadi perhatian pemerintah.
Untuk
meningkatkan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan Tim Pembimbing Haji
Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji
Indonesia (TKHI), dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Di samping itu,
pemerintah masih merasa perlu untuk mengangkat Tim Pembimbing Ibadah
Haji (TPIH).[20]
5. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Di samping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia
dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis
Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan agama,
hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama. Karena itu,
kerja sama antara pemerintah dan ulama perlu terjalin dengan baik.
Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno.
Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan
untuk menjamin kemajuan.
Majelis-majelis
ulama di provinsi lain didirikan jauh kemudian, yaitu setelah majelis
pusat berdiri pada bulan Oktober 1962. Pada tahun 1975, usaha-usaha
dimulai untuk mendirikan majelis ulama yang baru. Majelis-majelis ulama
di tiap ibu kota provinsi dibentuk atau bagi yang masih aktif diteruskan dalam rangka pembentukan majelis ulama yang baru.
Sementara itu, di Jakarta dibentuk panitia Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia.
Musyawarah itu sendiri dilangsungkan pada tanggal 21-27 Juni 1975,
dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Ulama provinsi. Ketika itulah Majelis
Ulama Indonesia.
Dalam
Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disahkan dalam kongres
tersebut, disebutkan bahwa, Majelis Ulama Indonesia berfungsi :
- Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
- Memperkuat
ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan
antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
- Mewakili umat Islam dalam konsultasi antarumat beragama.
- Penghubung
antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal
balik antara pemerintah dan umat guna menyuksekan pembangunan nasional.[21]
PENUTUP
Simpulan
Islam masuk di Indonesia
pada abad ke-7 M dengan berimannya orang perorang. Saat itu sudah ada
jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui selat
Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia
Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke-7.
Kerajaan- kerajaan Islam yang ada di Indonesia adalah :
- Sumatera : Kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Malaka, dan kerajaan Aceh.
- Jawa : Kerajaan Demak, kerajaan Pajang, kerajaan Mataram, kerajaan Banten, dan kerajaan Cirebon.
- Kalimantan : Kerajaan Banjar dan kerajaan Kutai.
- Sulawesi : Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan Bone, kerajaan Wajo, kerajaan Soppeng, dan kerajaan Luwu.
Pada
zaman modern kebangkitan Islam semakin berkembang di Indonesia
membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Sarekat Dagang
Islam (SDI), Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama (NU),
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan partai-partai politik, seperti
Sarekat Islam (SI), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), dan Partai
Islam Indonesia (PII). Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan
organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar baru, menandakan
tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern.
Peradaban-peradaban
Islam sebelum kemerdekaan adalah birokrasi keagamaan, ulama dan
ilmu-ilmu pengetahuan, dan arsitek bangunan. Sedangkan peradaban Islam
setelah kemerdekaan adalah Departemen Agama, Pendidikan, hukum Islam,
haji, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
DAFTAR PUSTAKA
Ø Yatim Badri, Dr. M.A. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007
Ø Tjandrasaamita Uka (Ed.). Sejarah Nasional Indonesia III. Balai Pustaka. Jakarta 1984.
Ø Mundzirin Yusuf (Ed.). Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Penerbit Pustaka. Yogyakarta. 2006
[2] Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007). Hal 193
[4] Dr. Badri Yatim, M.A. Op Cit. Hal 194-195
[5] Uka Tjandrasaamita (Ed.). Sejarah Nasional Indonesia III. (Jakarta : Balai Pustaka, 1984). Hal 26-27
[6] Ibid. Hal 188
[7] http://www.salafi.or.id
[8] Yusuf Mundzirin (Ed.). Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. (Yogyakarta : Penerbit Pustaka, 2006)
[9] A. Zuani dalam Artikelnya “Sejarah Peradaban Kerajaan Islam Indonesia”. Friday, June 8, 2007.
[10] Dr. Badri Yatim, M.A. Op Cit. Hal 211-212
[11] A. Zuani. Op Cit
[12] Dr. Badri Yatim, M.A. Op Cit. Hal 219-221
[13] Ibid. Hal 222-225
[14] Ibid. Hal 231-232
[15] Ibid. Hal 257-258
[16] Ibid. Hal 265-271
[17] Ibid. Hal 272- 275
[18] Ibid. Hal 299-313
[19] Ibid. Hal 315-317
[20] Ibid. Hal 318-319
[21] Ibid. Hal 320-322
0 komentar:
Posting Komentar