Minggu, 04 Maret 2012

SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Islam dan pembentukan peradaban dunia bermula dengan adanya gerakan rohaniah yang meresap pandangan hidup Islam dalam jiwa yang bermula dari zuhur Islam itu sendiri sebagai sebuah agama rahmat ke seluruh alam. Tidak ada lagi zaman yang lain selepas kemunculan Islam, dengan bersumber ke Al-Quran dan Sunnah Rasul SAW, Islam jadi satu kekuatan besar yang melimpahkan rahmatnya dari tanah Arab yang kering dan berdebu menjai hijau dan subur. Bahkan terus merambat ke berbagai penjuru dunia, dari Bumi Farsi yang sekarang dikenal dengan Iran melintasi Bilad al-Sham mencakup Jordania, Syria dan Irak yang pernah dijajah imperium Romawi sampai ke Mesir dan Bilad al-Sudan atau Afrika dan terus menyeberang ke Mawara al-Nahr Negara yang kini bernama Turkmenistan, Uzbekistan, dan Goergia ke Al-Hind yang kini dikenal dengan India tempat para ahli ilmu alam Islam.
Peradaban Islam ini akhirnya menginjak Tanah Besar China dan seterusnya ke Bilad al-Jawi yang lebih dikenal dengan Tanah Melayu yang mencakup semenanjung Malaysia, Borneo, Indonesia, Philipina, dan sebagian dari Thailand dan Kamboja. Merambahnya Islam ke semua tempat sekaligus membawa perubahan alamia kepada keilmuan, peta dunia, ekonomi, politik, dan social dan budaya dunia ketika itu. Jalan-jalan pedagangan menjadi garis penentu yang memisahkan Bandar-bandar utama di Dunia, sekaligus memperkaya peradaban dan juga bahasa.
Islam telah dikenal ke Nusantara atau Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau 7 Masehi, meskipun dalam frekuensi yang tidak terlalu besar melalui perdagangan dengan para pedagang muslim yang berlayar ke kawasan ini singgah untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih intensif, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, berlangsung beberapa abad kemudian.
Bukti peninggalan pertama arkeologi Islam di Asia Tenggara adalah dua makam muslim yang ada sekitar akhir abad ke-11 M di dua tempat yang sebenarnya agak berjauhan, di Padurangga (sekarang Panrang di Vietnam) dan di Leran, Gresik, Jawa TImur). Makam di Gresik adalah makam Fatimah binti Maimun, pada tahun 1082 M, yang diperkirakan adalah putri raja Gedah (Kedah).
PEMBAHASAN
SEJARAH PERADABAN ISLAM DI INDONESIA
A. Kedatangan Islam di Indonesia
Islam masuk di Indonesia pada abad ke-7 M dengan berimannya orang perorang.[1] Akan tetapi menurut Taufik Abdullah, belum ada bukti bahwa pribumi Indonesia di tempat yang disinggahi oleh pedagang Muslim itu beragama Islam, diduga pedagang Arab tersebut hanya berdiam untuk menunggu muslim yang baik bagi pelayaran saja.[2] Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke-7.
Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (berkuasa pada 717-720 M) dari Khalifah Bani Umayyah (661-750 M). “…..Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Maka pada tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam.[3]
Cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis sejak periode abad 1-5 H / 7-8 M, tetapi tenggelam oleh hegemoni maritim Sriwijaya di Palembang dan Kerajaan Hindu Jawa seperti Singasari dan Majapahit. Pada masa itu, pedagang dan mubalig Islam membentuk komunitas Islam yang berkembang dengan pesat dan damai karena ajarannya disukai oleh penduduk setempat.
Kemajuan politik dan ekonomi Sriwijaya berlangsung sampai abad ke-12 M. Pada akhir abad ke-12 M. Sriwijaya mulai mengalami kemunduran dan dipercepat oleh usaha-usaha kerajaan Singasari yang sedang bangkit, yang mana melakukan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275 M. Sedangkan di pesisir Aceh, pemukiman muslim sudah ada sejak menjelang abad ke-13 dan pada pertengahan abad ke-13 didirikan kerajaan Islam Samudera Pasai, diiringi dengan berdirinya kerajaan Islam pada abad ke-15 M di Malaka Kemudian bersamaan dengan mulai memuncaknya kekuasaan kedua kerajaan tersebut, kerajaan Singasari dan Majapahit pun mengalami kemunduran karena kekacauan-kekacauan yang terjadi akibat perebutan kekuasaan.[4]
Kedatangan Islam dan penyebarannya kepada golongan bangsawan dan rakyat, umumnya dilakukan secara damai. Mereka berhubungan dengan pedagang-pedagang Muslim yang posisi ekonominya kuat karena menguasai pelayaran dan perdagangan. Apabila kerajaan Islam sudah berdiri, penguasanya melancarkan perang terhadap kerajaan non-Islam. Hal itu bukanlah karena persoalan agama tetapi karena dorongan politis untuk menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya.
Proses Islamisasi memang tidak berhenti sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, tetapi terus berlangsung intensif dengan berbagai cara dan saluran. [5] Saluran dan cara-cara Islamisasi di Indonesia, yaitu : Saluran perdagangan, saluran pekawinan, saluran tasawuf, saluran pendidikan, saluran kesenian, dan politik.[6]
Adapun faktor-faktor yang membantu tersebarnya agama Islam dengan cepat di Indonesia dan pulau-pulau sekitarnya dapat diringkas dengan beberapa hal berikut ini:[7]
- Mudahnya agama Islam, tidak terdapat hal-hal yang rumit bagi seseorang yang berkeinginan memeluk agama Islam.
- Jernihnya hati penduduk Indonesia dan fitrah mereka yang siap untuk memeluk agama Islam.
- Pernikahan yang terjadi antara orang-orang Arab dengan penduduk Indonesia.
- Akulturasi bangsa Arab dengan penduduk Indonesia dan pergaulan mereka dengan penduduk Indonesia seperti saudara kandung
B. Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia
Kerajaan Islam di Indonesia diperkirakan kejayaannya berlangsung antara abad ke-13 sampai dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut didorong oleh maraknya lalu lintas perdagangan laut dengan pedagang-pedagang Islam dari Arab, India, Persia, Tiongkok, dan lain-lain. Kerajaan tersebut dapat dibagi berdasarkan wilayah pusat pemerintahannya, yaitu di Sumatera, Jawa, Maluku, Kalimantan, dan Sulawesi.[8]
1. Kerajaan Samudera Pasai ( Sumatera )
Kerajaan Samudera Pasai tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan Islam yang pertama. Kerajaan ini didirikan pertama kali oleh seorang penguasa lokal yang bernama Marah Silu dari Samudera, dia berhasil mempersatukan daerah Samudera dan Pasai. Dan kedua daerah tersebut dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Samudera Pasai. Kerajaan Samudera Pasai terletak di Kabupaten Lhokseumauwe, Aceh Utara, yang berbatasan dengan selat malaka dan berkembang pada abad ke-13 dan berlangsung sampai tahun 1524 M.
Peranan Samudera Pasai dalam bidang perdagangan adalah dengan letak yang strategis, maka Samudera Pasai berkembang sebagai kerajaan maritim dan memiliki hegenomi atas pelabuhan-pelabuhan yang penting di pesisir pantai barat Sumatera serta berkembang sebagai Bandar Transito. Nilai yang dapat diambil dari keberadaan kerajaan Samudera Pasai adalah Nilai keterbukaan dan kebersamaan dan penghormatan kepada setiap golongan masyarakat serta prinsip kepemimpinan yang dekat dengan rakyat.
Keberadaan kerajaan Samudera Pasai dibuktikan dengan adanya : Catatan Marcopolo dari Venetia, catatan Ibnu Batutah dari Maroko, Batu nisan Sultan Malik al-Saleh, dan Jirat Putri Pasai.
Raja-raja yang memerintah di Samudera Pasai antara lain :
- Sultan Malik al-Saleh (1285-1297)
- Sultan Muhammad (Malik al-Tahir I)
- Sultan Ahmad (Malik al-Tahir II)
- Sultan Zaenal Abidin (Malik al-Tahir III)
Selain kerajaan Samudera Pasai, berdiri juga kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera diantaranya yaitu kerajaan Aceh dan kerajaan Malaka.
2. Kerajaan Demak (Jawa)
Demak pada masa sebelumnya sebagai suatu daerah yang dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit. Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V yaitu raja Majapahit.
Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit. Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah. Kerajaan Demak terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai Demak, yang dikelilingi rawa yang luas di perairan Laut Muria.[9]
Pemerintahan Raden Patah berlangsung dari akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16 M. Kemudian pada tahun 1507 digantikan oleh anaknya, Pati Unus yang masih berumur 17 tahun. Selanjutnya Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang memerintah pada tahun 1524-1546. Pada masa ini, Islam dikembangkan ke seluruh tanah Jawa hingga ke Kalimantan Selatan. Pada Tahun 1546, Sultan Trenggono terbunuh digantikan adiknya, Prawoto yang akhirnya juga dibunuh oleh Aria Penangsang dari Jipong, pada tahun 1549. Dan selanjutnya Aria Penangsang pun dibunuh oleh Jaka Tingkir dari kerajaan Pajang, dengan terbunuhnya Aria Penangsang maka berakhirlah kerajaan Demak dan berdirilah kerajaan Pajang.[10]
3. Kerajaan Banten (Jawa)
Banten atau Sunda Kelapa yang terletak di ujung barat pulau Jawa dulunya adalah daerah perluasan kekuasaan kerajaan Demak, di bawah pimpinan Fatahillah. Dan setelah Banten diislamkan oleh Fatahillah maka daerah Banten diserahkan kepada putranya yang bernama Hasannudin dan dia langsung meletakkan dasar-dasar pemerintahan kerajaan Banten dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama, memerintah tahun 1552-1570. Sedangkan Fatahillah sendiri menetap di Cirebon dan banyak menekuni hal keagamaan di sana.
Pada masa pemerintahan Hasannudin, Banten dapat melepaskan diri dari kerajaan Demak sehingga Banten dapat berkembang cukup pesat dalam berbagai bidang kehidupan. Lokasi kerajaan Banten terletak di wilayah Banten sekarang, yaitu di tepi Timur Selat Sunda sehingga daerahnya strategis dan sangat ramai untuk pedagangan Nasional.
Silsilah Raja-raja Banten :[11]
- Sultan Hasannudin (1552-1570)
- Panembahan Yusuf (1570-1580)
- Maulana Muhammad (1580-1596)
- Abulmufakir (1596-1640)
- Abumaali Achmad (1640-1651)
- Sultan Abdul Fatah / Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682)
- Abdulnasar Abdulkahar / Sultan Haji (1682-1687)
Selain kerajaan Demak dan kerajaan Banten, berdiri juga kerajaan-kerajaan Islam di Jawa diantaranya yaitu kerajaan Pajang, kerajaan Mataram, dan kerajaan Cirebon.
4. Kerajaan Banjar (Kalimantan)
Masuknya Islam di Kalimantan Selatan, identik dengan berdirinya kerajaan Banjar yang merupakan kelanjutan kerajaan Daha yang beragama Hindu. Peristiwanya dimulai ketika terjadi pertentangan di istana antara Pangeran Samudera, putra Raja Sukarama sebagai pewaris tahta kerajaan Daha dengan pamannya, pangeran Tumenggung. Pertentangan ini mengakibatkan terbunuhnya Pangeran Mangkubumi, anak tertua Raja Sukarama, maka Pangeran Tumenggunglah yang tampil menjadi raja Daha.
Sedangkan Pangeran Samudera berkelana ke wilayah muara. Dan atas bantuan seorang patih, yang bernama Patih Masih, Pangeran Samudera dapat menghimpun kekuatan perlawanan. Dan pada serangan pertama, Pangeran Samudera berhasil menguasai Muara Bahan, sebuah pelabuhan strategis yang sering dikunjungi para pedagang luar, seperti dari pesisir utara Jawa,Gujarat, dan Malaka.
Peperangan terus berlangsung secara seimbang. Patih Masih mengusulkan kepada Pangeran Samudera untuk meminta bantuan kepada kerajaan Demak. Sultan Demak bersedia membantu asal Pangeran Samudera nanti masuk Islam. Dan akhirnya, kemenangan berpihak kepada Pangeran Samudera. Sesuai dengan janjinya, ia beserta seluruh penjabat kraton dan rakyat Banjar masuk Islam. Ia pun diberi nama Sultan Suryanullah atau Suriansyah dan dinobatkan sebagai raja pertama dalam kerajaan Islam Banjar sekitar tahun 1526 M. Kemudian, Sultan Suryanullah digantikan oleh putra tertuanya yang bergelar Sultan Rahmatullah. Lalu raja-raja Banjar berikutnya adalah Sultan Hidayatullah dan Sultan Musta’inullah.[12]
Selain kerajaan Banjar, berdiri juga kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan yaitu kerajaan Kutai di Kalimantan Timur.
5. Kerajaan Islam di Maluku
Menurut H. J. de Gaff, raja pertama yang benar-benar Muslim adalah Zayn Al Abidin (1486-1500 M). Di Giri, ia dikenal dengan nama Raja Bulawa atau Raja Cengkeh. Ketika ia kembali dari Jawa, ia mengajak Tuhubahahul yang dikenal kemudian sebagai penyebar utama Islam di kepulauan Maluku.
Di Ambon, tepatnya di Hitu tersebarnya Islam dikarenakan datangnya Ibrahim yang menjadi Qadhi di Ambon dan memberikan pengajaran kepada seluruh guru Agama Islam di pulau ini. Menurut riwayat, sumber Islam di Ambon adalah Jawa.
6. Kerajaan Islam di Sulawesi (Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwu)
Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung Barat Daya pulau Sulawesi, yang merupakan daerah transito sangat strategis.
Agama Islam mulai masuk ke Gowa-Tallo pada waktu Datu ‘Ri Bandang datang ke kerajaan ini, Alauddin (1591-1636 M) adalah sultan pertama yang menganut agama
Islam tahun 1605. Kerajaan Gowa-Tallo menyampaikan “Pesan Islam” kepada kerajaan-kerajaan lain. Raja Luwu langsung menerima, tetapi Wajo, Soppeng, dan Bone terikat dalam aliansi Tallumpoeco dalam perebutan hegemoni dengan Gowa-Tallo, Islam kemudian melalui peperangan. Wajo menerima Islam tanggal 10 Mei 1610 dan Bone tanggal 23 November 1611.
Dalam bidang politik, kerajaan-kerajaan Islam ini pada mulanya mempergunakan agama untuk memeperkuat diri dari kerajaan-kerajaan non Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik dan ekonomi. Meskipun demikian, kalau kepentingan politik dan ekonomi antar kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak ada. Oleh karena kepentingan yang berbeda di antara kerajaan-kerajaan itu pula, sering satu kerajaan Islam membantu pihak lain, untuk mengalahkan kerajaan Islam yang lain.
Hubungan antar kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang budaya dan keagamaan. Kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang semakin erat.[13]
Keadaan kerajaan-kerajaan Islam menjelang datangnya Belanda di akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 ke Indonesia berbeda-beda, bukan hanya berkenaan dengan kemajuan politik, tetapi juga proses islamisasinya. Di Sumatera, penduduk sudah Islam sekitar tiga abad, sementara di Maluku dan Sulawesi proses Islamisasi baru saja berlangsung.
Di Jawa, pusat kerajaan Islam sudah pindah dari pesisir ke pedalaman, yaitu dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Berpindahnya pusat pemerintahan itu membawa pengaruh besar yang sangat menentukan perkembangan sejarah Islam di Jawa, diantaranya adalah :[14]
  1. Kekuasaan dan sistem politik didasarkan atau basis agraris
  2. Peranan daerah pesisir dan juga Jawa dalam perdagangan dan pelayaran mundur
  3. Terjadinya pergeseran pusat-pusat perdagangan dalam abad ke-17 dengan segala akibatnya.
C. Islam di Indonesia Pada Zaman Modern dan Kontemporer
C.1. Gerakan Modern Islam
Pembaruan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yng ditujukan terhadap krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif Kerajaan Usmani yang merupakan pemangku Khilafah Islam, setelah abad ke-17, telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium itu. Yang terpenting diantaranya adalah gerakan Wahabi, sebuah gerakan reformis puritanis (Salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang menyiapkan jembatan ke arah pembaruan Islam abad ke-20 yang lebih bersifat intelektual. Gerakan yang lahir di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
Bermula dari pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau, yang disusul oleh pembaruan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia, kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Sarekat Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan partai-partai politik, seperti Sarekat Islam (SI), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), dan Partai Islam Indonesia (PII). Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar baru, menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern.[15]
C.2. Organisasi Politik dan Organisasi Sosial Islam
1. Masa Revolusi dan Demokrasi Liberal
Moh. Hatta dalam sidang PPKI setelah kemerdekaan berhasil dengan mudah menyakinkan anggota bahwa hanya suatu konstitusi “sekular” yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia. Tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila Pertama Pancasila dengan segala konsekuensinya dihapuskan dari konstitusi.
Keputusan tentang penghapusan tujuh kata-kata dari Piagam Jakarta itu sama sekali tidak mengakhiri konflik ideologi yang telah berlangsung lama pada masa sebelum kemerdekaan. Para nasonialis Islam harus menerima kenyataan itu, Karena mereka menyadari bahwa masa revolusi bukanlah saat yang tepat untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islami mereka.
Dalam masa-masa revolusi, konflik ideologi tidak begitu jelas, tetapi dapat dirasakan dan disaksikan melalui pergantian-pergantian kabinet yang silih berganti. Dan dari tiga kekuatan ideologi itu, muncullah tiga alternative dasar Negara : Islam, Pancasila, dan Sosial Ekonomi. Tetapi, dalam perjalanan sidang-sidang Konstituante itu, perdebatan ideologis mengenai dasar Negara terkristal menjadi Islam dan Pancasila.
Usaha partai-partai Islam untuk menegakkan Islam sebagai ideologi negara di dalam konstituante mengalami jalan buntu. Demikian juga dengan Pancasila, yang oleh umat Islam waktu itu, dipandang sebagai milik kaum “anti-Muslim”, setidak-tidaknya di dalam konstituante. Memang, kesempatan untuk menyelesaikan tugas konstituante masih terluang, namun pekerjaannya diakhiri dengan Dekrit Presiden 1959, konstituante dinyatakan bubar dan UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali.
2. Masa Demokrasi Terpimpin
Di masa Demokrasi Terpimpin ini, Soekarno kembali menyuarakan ide lamanya Nasakom, suatu pemikiran yang ingin menyatukan nasionalis, “sekular”, Islam, dan komunis. Akan tetapi, idenya itu dilaksanakan dengan caranya sendiri. Pancasila pun ditafsirkan sesuai dengan pemikirannya. Masa ini, karena lebih didominasi oleh PKI, memendam ketegangan antara Islam dan komunisme. Masa Demokrasi Terpimpin itu berakhir dengan gagalnya Gerakan 30 September PKI Tahun 1965. Umat Islam bersama ABRI dan golongan lainnya bekerjasama menumpas gerakan itu.
3. Masa Orde Baru
Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia berada di tangan Orde Baru. Tumbangnya Orde Lama memberikan harapan-harapan baru kepada kaum Muslimin. Namun, kekecewaan pun muncul dalam diri umat Islam. Mereka merasa, meskipun komunis telah tumbang, kenyataan berkembang tidak seperti yang diharapkan. Rehabilitasi Masyumi, partai Islam berpengaruh yang dibubarkan Soekarno, tidak diperkenankan. Bahkan, tokoh-tokohnya juga tidak diizinkan aktif dalam Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan kemudian.
Orde Baru memang sejak semula mencanangkan pembaruan sistem politik. Pada tanggal 26 November 1966, ditetapkan RUU kepartaian, RUU pemilu, dan RUU Susunan MPR, DPR, dan DPRD. Yang kedua dan ketiga ditetapkan 22 November 1969. Pada 9 Maret 1970, fraksi-fraksi parpol di DPR dikelompokkan. Pada tanggal 5 Februari 1973, Parpol difusikan ke dalam PPP dan PDI . Pada 14 Agustus 1975 RUU kepartaian dipisahkan. Penataan kehidupan kepartaian berikutnya adalah penetapan asas tunggal, Pancasila, untuk semua Parpol, tidak ada lagi ideologi Islam, jadi tidak ada lagi partai Islam.
Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran Islam dalam kehidupan berbangsa ini. Peran politik (formal) Islam tidak ada lagi, tetapi sebagai agama yang mengaku tidak memisahkan diri dari persoalan politik, tentu peran itu akan terus berlangsung. Mungkin dengan pendekatan yang berbeda.[16]
4. Kebangkitan Islam di Masa Orde Baru
Sejak dekade 1970-an, kegiatan Islam semakin berkembang bila dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Terlihat, ada tanda-tanda kebangkitan Islam kembali dalam masa Orde Baru ini. Fenomena yang sangat bisa dilihat adalah munculnya bangunan-bangunan baru Islam; masjid-masjid, mushalla-mushalla, madrasah-madrasah, juga pesantren-pesantren.
Memang, setelah pimpinan-pimpinan nasionalis Islam beberapa kali melewati batu sandung politik, mereka sudah berubah secara perlahan. Mereka tidak lagi berusaha keras secara terbuka untuk membentuk negara Islam, tetapi melakukan pendekatan lain, dengan berusaha melaksanakan beberapa “unsur” tertentu dari hukum Islam dan dakwah Islamiyah. Beberapa orang tokoh Masyumi dulu, banyak aktif lembaga-lembaga dakwah, ada juga yang aktif di perguruan tinggi Islam swasta, dan ada juga yang aktif dalam organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam.
Disamping itu, sejak dekade 1970-an, banyak bermunculan intelektual muda Muslim, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan umat. Kebanyakan mereka adalah intelektual Muslim berpendidikan “umum” dan merupakan buah dari kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM).
Disamping itu pula, Departemen Agama yang dibentuk sebagai konsesi bagi umat Islam juga banyak dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam tersebut. Empat belas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) induk dengan sekian banyak cabangnya sangat berjasa menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan mubalig dalam kuantitas besar. Demikian juga dengan kebijaksanaan pemerintah mendirikan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dengan asas tunggal, memang wadah politik umat Islam hilang. Islam nampaknya menarik diri dari dunia politik. Namun, dengan pembaharuan politik bangsa ini, umat Islam terlepas dari ikatan yang sempit menuju dunia yang lebih luas. Perjuangan kultural adalah lahan yang sangat luas dibandingkan dengan dunia politik saja, aspek ini merupakan pusat perhatian umat Islam di masa lalu.[17]
D. Peradaban Islam di Indonesia
D.1. Sebelum Kemerdekaan
1. Birokrasi Keagamaan
Ibu kota kerajaan disamping merupakan pusat-pusat politik dan perdagangan, juga merupakan tempat berkumpul para ulama dan muballig Islam. Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) mengangkat Syaikh Syamsuddin Al-Sumatrani menjadi mufti kerajaan Aceh dan begitu pula terjadi pada raja-raja yang lain.
Kedudukan ulama disamping sebagai penasihat raja, juga duduk dalam jabatan-jabatan keagamaan yang tingkat dan namanya berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Tetapi penerapan hukum Islam terkuat ada pada kerajaan Aceh dan Banten.
2. Ulama dan Ilmu-Ilmu Pengetahuan
Ada dua cara yang dilakukan oleh para ulama untuk menyebarkan kebudayaan Islam :
- Membentuk kader-kader ulama yang akan bertugas sebagai muballig.
- Melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh.
Ilmuwan Muslim terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri yang menulis Asrarul-‘Arifin fi Bayan ila Suluk wa Al-Tauhid. Kemudian, Syamsuddin Al-Sumatrani mengarang buku Mir’atul Mu’minin (1601 M); Nurudin Al-Raniri yang menulis banyak buku diantaranya al-Shirath, al-Mustaqim berisi uraian tentang hukum kitab-kitab suluk di Jawa bersifat mistik yang terambil dari tradisi mistik (tasawuf) Islam.
Di Sulawesi, pemikiran tasawuf dikembangkan oleh Syaikh Yusuf Makassar (1626-1699 M) yang berlayar di Timur Tengah. Pada abad ke-19 M, pemikiran tasawuf mulai bergeser kepada pemikiran fiqih seperti tergambar dalam karya-karya ulama pada masa itu. Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari misalnya (1710-1812 M) menulis kitab fiqih Sabilal Muhtadin dan kitab Perukunan Mellayu.
3. Arsitek Bangunan
Hasil-hasil seni bangunan pada perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia, antara lain : mesjid-mesjid kuno Demak, mesjid Agung Banten, mesjid Baiturrahman di Aceh, Sendang Duwur Agung Kasepuhan di Cirebon, dan di daerah-daerah lain. Beberapa masjid kuno, bangunannya mengingatkan kita kepada seni bangunan Candi selain dari itu, pintu gerbang baik di keraton maupun pemakaman berbentuk Candi-bentar, kori agung, jelas menunjukkan corak pintu gerbang yang dikenal sebelum Islam. Demikian pula, nisan-nisan kubur di daerah Tralaya, Tuban, Madura, Demak, Kudus, Cirebon, dan Banten menunjukkan unsur-unsur seni ukir dan perlambang pra-Islam. Di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera terdapat beberapa nisan kubur yang lebih menunjukkan unsur seni Indonesia pra-Hindu dan pra-Islam.
D.2. Setelah Kemerdekaan
1. Departemen Agama
Departemen Agama (dulu namanya Kementrian Agama) didirikan tanggal 3 Januar1 1946 pada masa Kabinet Syahrir. Menteri Agama pertama adalah M. Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret 1946. Berdirinya Departemen Agama merupakan penyesuaian pemerintah kala itu dengan keinginan mayoritas Muslim. Menurut B. J. Boland walaupun banyak pendapat yang saling bertentangan tentang kementrian, secara bertahap makna yang positif dari kementrian akan tampil ke depan yang meliputi hal-hal sebagai berikut :
- Bahwa kementrian itu menawarkan kemungkinan bagi agama, khususnya Agama Islam, untuk berperan seefektif mungkin dalam negara dan masyaraqat.
- Dalam sebuah negeri yang sangat bercorak Muslim, kementrian ini merupakan suatu jalan tengah antara negara sekular dan negara Islam.
Dalam jangka waktu beberapa tahun di awal berdirinya kementrian ini, telah dikeluarkan berbagai peraturan yang menentukan tugas serta ruang lingkup kementrian agama.
2. Pendidikan
Salah satu bentuk pendidikan Islam tertua di Indonesia adalah pesantren yang tersebar di berbagai pelosoknya. Pada awal abad ke-20, persoalan administrasi dan organisasi pendidikan mulai mendapat perhatian setelah berkembangnya pemikiran pembaharuan dalam Islam. Hal ini untuk memperbaiki, tidak ada kurikulum yang jelas dalam pesantren untuk tingkat lanjutan.
Setelah Indonesia merdeka, Badan Pekerja Komite Nasional pusat dalam bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah yang ada pada masa sebelumnya diteruskan. Pada tahun 1946 Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, dan pada tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo. Beberapa sekolah agama Islam direncanakan dan didirikan oleh Departemen Agama. Sementara, perguruan Islam swasta masih berjalan.
Bentuk-bentuk lembaga pendidikan swasta tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Pesantren Indonesia klasik
  2. Madrasah diniyah (agama)
  3. Madrasah-madrasah swasta (negeri)
Kaum muslimin sejak awal berpikir untuk membangun Perguruan Tinggi Islam, akhirnya Mahmud Yunus membuka Islamic College pertama tanggal 9 Desember 1940 di Padang, terdiri dari Fakultas Syari’ah, Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab. Pada tahun 1945, muncul Universitas Islam Indonesia (UII) yang merupakan perguruan tinggi Islam pertama yang memiliki fakultas-fakultas non agama.
Pada tanggal 26 Sepetember 1951 dibuka perguruan tinggi dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), dan pada tahun 1957 di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Gabungan keduanya membentuk IAIN yang terus berkembnag pesat.[18]
3. Hukum Islam
Salah satu lembaga Islam yang sangat penting yang juga ditangani oleh Departemen Agama adalah hukum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada soal-soal yang bersifat pribadi. Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa colonial Belanda.
Setelah Indonesia merdeka jumlah pengadilan agama bertambah tetapi administrasinya tidak segera dapat diperbaiki. Para hakim Islam tampak ketat dan kaku, karena hanya berpegang pada mazhab Syafi’i. Sementara itu, belum ada kitab undang-undang yang seragam yang dapat dijadikan pegangan para hakim dan Pengadilan Agama. Karena itulah, sekolah Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) dan Fakultas Syariah di perguruan-perguruan tinggi Islam didirikan.
Baru pada tahun 1974, hukum perkawinan diundangkan, setelah Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pada bulan Desember 1973. Pada tanggal 21 Maret 1984 diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang menetapkan terbentuknya sebuah panitia dengan tugas menangani pelaksanaan kompilasi. Dan akhirnya panitia kompilasi itu telah menghasilkan tiga buku hukum, masing-masing tentang Hukum Perkawinan (Buku I), Hukum Kewarisan (Buku II), dan Hukum Perwakafan (Buku III). Ketiga buku tersebut dilokakaryakan pada bulan Februari 1988 dan mendapat dukungan yang luas.
Kemantapan posisi hukum Islam dalam sistem hokum nasional semakin meningkat setelah Undang-Undang Peradilan Agama ditetapkan tahun 1989. Undang-Undang Peradilan Agama ini merupakan kelengkapan dari UU No. 14/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.[19]
4. Haji
Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat Islam Indonesia ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggaraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi, selama zaman jajahan, keinginan ini tidak terwujud. Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan. Pada tahun 1964, Dewan Urusan Haji mengajak PHI untuk kembali mengurus jamaah haji, tetapi campur tangan pemerintah di dalamnya semakin besar, karena tanggung jawab penyelenggaraan haji terletak pada pemerintah setempat. Namun, semua usaha yang dilakukan itu tidak ada yang berhasil baik. Setelah Soekarno jatuh tahun 1966, organisasi-organisasi swasta mulai lagi melakukan kegiatannya menyelenggarakan perjalanan haji.
Diantara alasan mengapa pemerintah melakukan monopoli dalam perjalanan penyelenggaraan haji adalah sebagai berikut :
- Pemerintah merasa bertanggung jawab atas penyelenggaraan perjalanan haji agar masyarakat merasa tentram dan terjamin.
- Kemungkinan faktor laba juga menjadi perhatian pemerintah.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji Indonesia (TKHI), dan Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Di samping itu, pemerintah masih merasa perlu untuk mengangkat Tim Pembimbing Ibadah Haji (TPIH).[20]
5. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Di samping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan agama, hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama. Karena itu, kerja sama antara pemerintah dan ulama perlu terjalin dengan baik. Pertama kali Majelis Ulama didirikan pada masa pemerintahan Soekarno. Majelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untuk menjamin kemajuan.
Majelis-majelis ulama di provinsi lain didirikan jauh kemudian, yaitu setelah majelis pusat berdiri pada bulan Oktober 1962. Pada tahun 1975, usaha-usaha dimulai untuk mendirikan majelis ulama yang baru. Majelis-majelis ulama di tiap ibu kota provinsi dibentuk atau bagi yang masih aktif diteruskan dalam rangka pembentukan majelis ulama yang baru.
Sementara itu, di Jakarta dibentuk panitia Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia. Musyawarah itu sendiri dilangsungkan pada tanggal 21-27 Juni 1975, dihadiri oleh wakil-wakil Majelis Ulama provinsi. Ketika itulah Majelis Ulama Indonesia.
Dalam Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disahkan dalam kongres tersebut, disebutkan bahwa, Majelis Ulama Indonesia berfungsi :
- Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
- Memperkuat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antarumat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
- Mewakili umat Islam dalam konsultasi antarumat beragama.
- Penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna menyuksekan pembangunan nasional.[21]
PENUTUP
Simpulan
Islam masuk di Indonesia pada abad ke-7 M dengan berimannya orang perorang. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad ke-7.
Kerajaan- kerajaan Islam yang ada di Indonesia adalah :
- Sumatera : Kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Malaka, dan kerajaan Aceh.
- Jawa : Kerajaan Demak, kerajaan Pajang, kerajaan Mataram, kerajaan Banten, dan kerajaan Cirebon.
- Kalimantan : Kerajaan Banjar dan kerajaan Kutai.
- Sulawesi : Kerajaan Gowa-Tallo, kerajaan Bone, kerajaan Wajo, kerajaan Soppeng, dan kerajaan Luwu.
Pada zaman modern kebangkitan Islam semakin berkembang di Indonesia membentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan, seperti Sarekat Dagang Islam (SDI), Muhammadiyah, Persatuan Islam, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan partai-partai politik, seperti Sarekat Islam (SI), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), dan Partai Islam Indonesia (PII). Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan kaum terpelajar baru, menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern.
Peradaban-peradaban Islam sebelum kemerdekaan adalah birokrasi keagamaan, ulama dan ilmu-ilmu pengetahuan, dan arsitek bangunan. Sedangkan peradaban Islam setelah kemerdekaan adalah Departemen Agama, Pendidikan, hukum Islam, haji, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
DAFTAR PUSTAKA
Ø Yatim Badri, Dr. M.A. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2007
Ø Tjandrasaamita Uka (Ed.). Sejarah Nasional Indonesia III. Balai Pustaka. Jakarta 1984.
Ø Mundzirin Yusuf (Ed.). Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Penerbit Pustaka. Yogyakarta. 2006


[2] Dr. Badri Yatim, M.A. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007). Hal 193
[4] Dr. Badri Yatim, M.A. Op Cit. Hal 194-195
[5] Uka Tjandrasaamita (Ed.). Sejarah Nasional Indonesia III. (Jakarta : Balai Pustaka, 1984). Hal 26-27
[6] Ibid. Hal 188
[7] http://www.salafi.or.id
[8] Yusuf Mundzirin (Ed.). Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. (Yogyakarta : Penerbit Pustaka, 2006)
[9] A. Zuani dalam Artikelnya “Sejarah Peradaban Kerajaan Islam Indonesia”. Friday, June 8, 2007.
[10] Dr. Badri Yatim, M.A. Op Cit. Hal 211-212
[11] A. Zuani. Op Cit
[12] Dr. Badri Yatim, M.A. Op Cit. Hal 219-221
[13] Ibid. Hal 222-225
[14] Ibid. Hal 231-232
[15] Ibid. Hal 257-258
[16] Ibid. Hal 265-271
[17] Ibid. Hal 272- 275
[18] Ibid. Hal 299-313
[19] Ibid. Hal 315-317
[20] Ibid. Hal 318-319
[21] Ibid. Hal 320-322

0 komentar:

Posting Komentar